Penyajian MakananUploaded by
VebriArsita
100%(1)100% found this document useful (1 vote)
2K views8 pagesDocument Information
click to expand document informationDescription:
STTU
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
DOCX, PDF, TXT or read online from Scribd
Share this document
Share or Embed Document
Sharing Options
- Share on Facebook, opens a new window
Facebook
- Share on Twitter, opens a new window
Twitter
- Share on LinkedIn, opens a new window
LinkedIn
- Share with Email, opens mail client
Email
- Copy Link
Copy Link
Did you find this document useful?
100%100% found this document useful, Mark this document as useful
0%0% found this document not useful, Mark this document as not useful
Is this content inappropriate?
Report this DocumentDownload now
SaveSave Penyajian Makanan For Later
100%(1)100% found this document useful (1 vote)
Penyajian Makanan
Uploaded by
VebriArsitaDescription:
STTU
Full descriptionSaveSave Penyajian Makanan For Later
100%100% found this document useful, Mark this document as useful
0%0% found this document not useful, Mark this document as not useful
EmbedShare
PrintDownload now
Jump to Page
You are on page 1of 8Search inside document
You're Reading a Free Preview
Pages 5 to 7 are not shown in this preview.
Buy the Full Version
Reward Your Curiosity
Everything you want to read.
Anytime. Anywhere. Any device.
No Commitment. Cancel anytime.
Share this document
Share or Embed Document
Sharing Options
- Share on Facebook, opens a new window
- Share on Twitter, opens a new window
- Share on LinkedIn, opens a new window
- Share with Email, opens mail client
- Copy Link
Home Books Audiobooks DocumentsQuick navigation
Islam tidak hanya mengatur soal ibadah manusia kepada Tuhan, tetapi juga perihal bersosial kepada sesama manusia, seperti etika memberikan hidangan kepada tamu. Tak disangka, ternyata hal ini termasuk urusan yang sangat diatur dalam Islam. Hal ini–sekali lagi–bukan sebuah kekangan sebagaimana yang diyakini beberapa orang, melainkan agar esensi manusia sebagai khalifah benar-benar tercapai, tentu dengan misi bermoral etis, “mutammiman limakarim al-Akhlak” (menyempurnakan akhlak yang mulia).
Dalam kitab Mukhtasar Minhaj al-Abidin, karangan Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Makdisi, menjelaskan beberapa etika memberikan hidangan kepada tamu. Etika ini mengatur soal-soal teknis memberikan jamuan kepada tamu, dan hidangan apa yang sunah disuguhkan pertama kali kepada tamu yang baru datang.
Baca juga: Bolehkah Istri Menerima Tamu Lelaki Saat Suami Tak Di Rumah?
Menurutnya, etika menyuguhkan hidangan kepada tamu harus memenuhi lima etika berikut; menyegerakan, mendahulukan buah-buahan, menyuguhkan aneka makanan yang dimiliki, membiarkan makanan tetap di meja makan (sampai tamu benar-benar menikmati), menyuguhkan makanan sesuai kebutuhanya saja. Lima etika ini tidak semuanya penulis akan jelaskan. Hanya sebagian yang mungkin sangat penting diketahui banyak orang.
Pertama, tentang menyegerakan. Jadi apabila ada tamu yang bertandang ke rumah kita, maka kewajiban tuan rumah adalah menyegerakan untuk memberikan suguhan. Artinya, jangan biarkan tamu terdiam lama dan tak sedikit pun ada hidangan.
Setidaknya, mulailah dari minuman-minuman ala kadarnya seperti teh, kopi, air putih, dan sebagainya, baru setelah itu hidangan lainnya. Sebab menunggu terlalu lama benar-benar tidak baik. Oleh karena itulah, segerakan hidangan yang ada-ada saja, perkenankan tamu menikmati sebebasnya.
Kedua, mendahulukan buah-buahan. Tamu adalah raja, begitulah suatu pepatah. Ternyata benar, meski kita tidak pernah merasa, tamu pada dasarnya adalah orang yang harus–atau berhak–dihormati. Termasuk bagian dari menghormati adalah memberikan hidangan yang menyenangkan. Dalam hidangan, aturannya adalah mendahulukan buah-buahan sebelum hidangan lainnya.
Ketiga, membiarkan makanan tetap berada di meja makan. Ini sering terjadi khususnya di perkotaan, bahwa saat makanan usai, biasanya tuan rumah langsung mengambilnya. Entahlah apa maksud di balik itu, tapi yang jelas, budaya ini menurut etikanya sangat tidak bisa dibenarkan. Yang benar, biarkan sisa makanan itu berada di depan tamu, dengan bertujuan, si tamu tersebut masih bisa menikmati hidangan di sela-sela waktu. Yang lebih penting dari itu, dahulukanlah orang lain sebelum tuan rumah. Mintalah tamu untuk mengambil hidangannya, bukan tuan rumah yang malah melahapnya lebih awal.
Baca juga: Memahami Keragaman Islam dari Sudut Pandang Budaya Kuliner
Keempat, menyuguhkan makanan sesuai kebutuhannya saja. Maksudnya, tuan rumah dalam hal ini harus benar-benar paham, paham situasi tamu, atau mungkin juga porsi dari masing-masing. Artinya, jika tamu hanya lima orang, tuan rumah harus menyiapkan hidangannya untuk lima orang tapi, tidak lebih. Jika makanan yang ada dan disiapkan, ternyata lebih dari batas ukuran tamu, lebih baik disedekahkan kepada orang-orang sekitar.
Terkait aneka ragam jenis makanannya, maka dianjurkan menyuguhkan beragam makanan untuk tamu. Sebab semakin banyak suguhan, maka semakin banyak pilihan, bukan? (AN)
Wallahu A’lam
Moh. Ali Rizqon MD
Alumni Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Jurusan Tasawuf & Psikoterapi
Topik:
etika menerima tamu Hidangan jamuan tamu
islami.co dihidupi oleh jaringan penulis, videomaker dan tim editor yang butuh dukungan untuk bisa memproduksi konten secara rutin. Jika kamu bersedia menyisihkan sedikit rezeki untuk membantu kerja-kerja kami dalam memproduksi artikel, video atau infografis yang mengedukasi publik dengan ajaran Islam yang ramah, toleran dan mencerahkan, kami akan sangat berterima kasih karenanya. Sebab itu sangat membantu dan meringankan.