Haid adalah darah yang dikeluarkan perempuan dalam keadaan

Selasa, 12 Juli 2022 | 17:22 WIB

Senin, 11 Juli 2022 | 18:44 WIB

Minggu, 10 Juli 2022 | 09:22 WIB

Jumat, 8 Juli 2022 | 16:28 WIB

Jumat, 8 Juli 2022 | 10:10 WIB

Kamis, 7 Juli 2022 | 20:08 WIB

Kamis, 7 Juli 2022 | 15:47 WIB

Kamis, 7 Juli 2022 | 02:30 WIB

Rabu, 6 Juli 2022 | 17:01 WIB

Rabu, 6 Juli 2022 | 16:54 WIB

Rabu, 6 Juli 2022 | 15:12 WIB

Rabu, 6 Juli 2022 | 14:32 WIB

Selasa, 5 Juli 2022 | 20:17 WIB

Selasa, 5 Juli 2022 | 15:30 WIB

Senin, 4 Juli 2022 | 11:48 WIB

Jumat, 1 Juli 2022 | 14:59 WIB

Kamis, 30 Juni 2022 | 07:30 WIB

Rabu, 29 Juni 2022 | 14:53 WIB

Selasa, 28 Juni 2022 | 16:50 WIB

Sabtu, 25 Juni 2022 | 16:30 WIB

Oase.id - Menstruasi dalam literatur fikih menempati ruang yang cukup signifikan, sebab erat kaitannya dengan perempuan. Sebagai kodrati (biologis), menstruasi dialami oleh perempuan yang sehat dan tidak dalam siklus-siklus tertentu. Misalnya, haid, nifas dan sebagainya.

Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu menyebutkan, haid dikenal dengan sebutan “assailani” yang berarti sesuatu yang mengalir dan “infijar” (yang terpancar). Dikatakan “hadul wadhi” (sebuah lembah mengalir). Lalu, kenapa disebut haid karena mengalirnya darah pada waktu-waktu tertentu sama seperti halnya mengalirnya air di suatu lembah. 

Menurut istilah syara’, haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan ketika sehat, bukan semasa melahirkan bayi atau semasa sakit.

Para ahli fikih Al-Azhar mengatakan, bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan setelah usia baligh dan keluarnya pada masa tertentu. Darah haid keluar dari dalam rahim dan warnanya hitam menyala dan bersifat panas seolah-olah membakar.

Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang mana darah yang keluar bukan dari penyakit.

Sementara mazhab Maliki mengartikan, darah yang keluar pada perempuan dengan sendirinya pada waktu tertentu. Saat memasuki usia akil baligh (dimulai usia 9 tahun atau lebih). Darah haid biasanya keluar selama 1 bulan sekali. Darah yang dikeluarkan paling sedikit 1 hari 1 malam, umumnya 7 hari dan paling lama 15 hari. 

Wahbah al-Zuhaili menyimpulkan antara ulama satu dengan ulama lainnya yang hampir sama, di antaranya sebagai berikut:

  • Yang keluar darah berupa warna darah yang memiliki warna, sifat serta tingkatan tertentu, jika tidak demikian berarti bukan termasuk darah haid.
  • Darah haid keluar dari ujung Rahim perempuan dan tidak semua darah yang keluar tersebut darah haid, sebab bisa jadi darah tersebut keluar karena luka.
  • Perempuan yang mengeluarkan darah tidak dalam keadaan sakit atau pun melahirkan
  • Darah yang keluar mempunyai kriteria umum baik dari segi warna, sifat dan tingkatannya, batas usia wanita serta waktu yang telah ditentukan.

(ACF)

Haid adalah darah yang dikeluarkan perempuan dalam keadaan
Haid adalah darah yang dikeluarkan perempuan dalam keadaan

M Izzuddin Robbani

Menyoal ketubuhan perempuan tentu saja penuh dengan kompleksitas. Hal ini disebabkan secara alamiah tubuh perempuan diciptakan berbeda dengan laki-laki. Misalnya saja fungsi tubuh untuk dapat menampung janin, seperti rahim, dinding rahim dan lainnya. Ini secara konsekuensi logis membawa perbedaan ke dalam bentuk fisik, seperti kelamin (farji) untuk kegiatan reproduksi, payudara untuk menetek bayi; yang pula berakibat pada karakter yang cenderung tidak persis sama—kalau tidak mau disebut berbeda—dengan laki-laki dikarenakan kebiasaan yang terikat pada perbedaan fisik atau biologis; seperti menyayangi, mengasihi, memiliki kepekaan lebih, dan keibu-ibuan tentunya.

Kondisi berbeda tersebut menjadikan perempuan sebagai makhluk yang kompleks dan itu semakin terlihat dengan fenomena keluarnya darah dari farji perempuan. Islam sebagai jalan hidup seorang muslim tentu memperhatikan persoalan ini berupa solusi dan keterangan yang cukup mendetail sebagai perspektif bagi seseorang—terutama muslimah—untuk menyikapi fenomena tersebut. Soal darah yang keluar dari lubang farji terdapat tiga kategori: darah haid, istihadhah dan nifas. Ketiga kategori tersebut dihasilkan dari perbedaan jenis darah yang keluar dari lubang farji berdasarkan kadar, warna dan waktunya.

Pengertian Haid, Istihadhah dan Nifas

Haid atau menstruasi secara etimologi berarti perkara yang mengalir. Oleh sebab itu setiap perkara yang mengalir dapat kita sebut haid walaupun yang mengalir bukan darah. Adapun haid secara terminologi adalah darah yang keluar dari farji perempuan secara berkala; berasal dari pangkal rahim pada umur haid (9 Tahun Qamariah) dalam kondisi sehat serta pada masa reproduksi. Sehingga darah yang keluar pada waktu yang tidak ditentukan (usia haid) dinamakan darah fasad.

Sedangkan istihadhah adalah darah yang keluar akibat adabya penyakit, berasal dari pangkal rahim di selain masa haid dan nifas. Seorang perempuan yang mengeluarkan darah secara terus menerus disebut mustahadhah. Dalam hal ini istihadhah adalah gangguan menstruasi yang berupa pendarahan berlebihan. Dalam kedokteran terdapat dua istilah untuk gangguan semacam ini yaitu fisiologis; yakni keluarnya darah tidak dilatarbelakangi oleh penyakit tertentu dan patologis, yaitu keluarnya darah disebabkan oleh penyakit tertentu.

Baca Juga  Cari Jodoh Kayak Cari Jarum di Tumpukan Jerami ?

*

Yang terakhir, nifas, adalah darah yang keluar setelah melahirkan atau saat kosongnya rahim dari kandungan dan waktu keluarnya nifas adalah kurang dari minimal suci (15 hari) dari waktu melahirkan. Jika setelah melahirkan darah tidak langsung keluar, (bersih terlebih dahulu) lalu keluar darah sebelum melebihi 15 hari maka permulaan nifasnya mulai dari keluarnya darah. Sedangkan masa-masa suci sebelumnya tidak dikatakan nifas, tetapi diikutkan dalam hitungan 60 hari/maksimal nifas. Oleh sebab itu ia wajib mengganti ibadah yang ia tinggalkan pada masa-masa tersebut dan halal pada masa tersebut melakukan jimak. Tetapi kalau darah keluar setelah 15 hari dari waktu melahirkan, maka perempuan tersebut tidak mengalami nifas. Darah tersebut dihukumi haid jika memenuhi syarat-syarat haid. (Khalidul dan Ummi, 2020)

Sedikit catatan tentang darah fasad, kendati ia keluar di saat selain haid dan nifas tidaklah sama dengan darah istihadhah. Hal itu karena istihadhah adalah keberlanjutan dari haid. Misal seorang perempuan mengeluarkan darah melebihi batas 15 hari, katakanlah 20 hari dengan 10 hari darah kuat dan 10 hari darah lemah. Maka darah yang keluar pada 10 hari awal dihukumi haid dan sisanya istihadhah. Sedangkan darah fasad sama sekali bukan keberlanjutan dari haid. Misal darah yang keluar sebelum usia 9 tahun kurang 16 hari, darah yang tidak mencapai kadar 24 jam dan darah thalq, yaitu darah yang keluar ketika akan melahirkan atau bersamaan dengan bayi. Keduanya sekadar berbeda dalam lafal dan makna, namun dihukumi sama, yaitu darah yang keluar selain saat haid dan nifas. Sehingga tidak mencegah seorang muslimah melakukan hal-hal yang dicegah saat haid dan nifas seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an, dll.

Baca Juga  Menumbuhkan Gerakan Filantropi Perempuan

Hukum Mempelajarinya

Haid, istihadhah dan nifas adalah hal-hal yang umum terjadi pada diri seorang muslimah dan menjadikan sebab dari penerapan hukum atas ibadah-ibadah penting dalam kehidupan seperti salat, puasa, membaca Al-Qur’an, melakukan jimak dan lain-lain. Hal ini menerangkan urgensi untuk mengetahui soal-soal mengenai darah yang keluar dari farji dengan segala implikasinya.

Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa wajib hukumnya bagi seorang muslimah mengetahui persoalan ini dan mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan haid, istihadhah dan nifas. Apabila ia memiliki suami yang alim, maka bagi suaminya wajib hukumnya untuk mengajari istrinya. Apabila tidak demikian, wajib bagi seorang muslimah keluar dalam urusan bertanya pada ulama. Persoalan keluar rumah tidak lagi dikategorikan sebagai nusyuz, bahkan wajib baginya keluar rumah untuk bertanya soal urusan tersebut dan haram bagi suaminya untuk melarang kecuali ia bersedia bertanya kepada ulama dan memberitahu istrinya. Hal itu dirasa cukup dikarenakan pendapat yang mengatakan bahwa hukum mempelajari bagi muslimah adalah fardhu ‘ain dan bagi laki-laki adalah fardhu kifayah. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum mempelajarinya bagi laki-laki adalah wajib; hal ini yang kemudian memperkuat legitimasi laki-laki sekaligus dalil bahwasanya perempuan harus tetap berada karena suaminya memiliki pengetahuan.

Hikmah dari Penerapan Hukum

Islam adalah agama yang menerapkan banyak hukum dalam kehidupan juga menyelipkan nilai hikmah di balik setiap penerapan hukum yang ada, termasuk dalam persoalan haid, istihadhah dan nifas. Misalnya saja seorang muslimah (yang sudah menikah) ketika haid, haram untuk melakukan jimak. Pada ranah medis, menggauli seorang istri ketika haid dapat mengakibatkan risiko infeksi menular seksual, penyakit kelamin, infeksi serviks dan uterus bagian atas, dan sebagainya. Allah Swt. telah menerangkan dalam Al Qur’an surat al-Baqarah [2]: 222 yang berbunyi:

Baca Juga  Memahami Kajian Fikih Berolahraga

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ

Artinya: Jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. 

Seorang perempuan yang mengalami haid atau menstruasi cenderung lebih sensitif karena hormon estrogen dalam tubuh cenderung fluktuatif. Hormon satu ini dapat memengaruhi produksi dan efek dari endorfin jika berkaitan dengan suasana hati. Endorfin sendiri merupakan unsur pada otak yang berperan menghadirkan kenyamanan dan kesenangan. Melihat fenomena demikian, ada baiknya bagi seorang perempuan dan bahkan laki-laki untuk setidaknya mempelajari hal-hal berkaitan dengan persoalan darah yang keluar dari lubang farji untuk memahami keadaan tubuh perempuan, kendati hanya pengetahuan dalam taraf permukaan. Islam memperlakukan seorang muslimah ketika mengalami haid, istihadhah dan nifas dengan sangat berhati-hati. Islam yang Nabi Muhammad Saw. bawa dengan berbagai penerapan hukum dalam keseharian sama sekali tidak mempersulit seseorang; tetapi justru mengandung berbagai hikmah di dalamnya demi kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (QS. al-Anbiya’ [21]: 107).

Mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI), Sendangagung, Paciran, Lamongan.