NASIKH DAN MANSUKH
Makalah diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada Mata Kuliah Ulumul Qur’an Semester II Jurusan Tarbiyah Program Studi Tadris Bahasa Inggris STAIN Watampone Oleh : ARWAN SAPUTRA P. NIM. 02134085 KAMELIA NIM. 02134098 NUR RAHMAH NIM. 02134091 NUR WAHIDAH NIM. 02134102 Dosen Pembimbing Ruslan, S.Ag., M.Ag SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) WATAMPONE 2014 KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga penulisan makalah yang berjudul “Nasikh dan Mansukh” dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat beserta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga-Nya, para sahabat-Nya, serta para pengikut-Nya termasuk kita semua. Tidak lupa pula penyusun ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ruslan, S.Ag., M.Ag selaku Dosen Ulumul Qur’an STAIN Watampone yang telah membimbing kami dalam penulisan makalah ini. Makalah ini dibuat dalam rangka pembelajaran mata kuliah Ulumul Qur’an. Pemahaman tentang Nasikh dan Mansukh, serta hal – hal yang berkaitan dengannya sangat diperlukan, dengan suatu harapan suatu masalah dapat diselesaikan dan dihindari kelak, sekaligus menambah wawasan bagi kita semua. Beberapa pembahasan dalam makalah ini masih bersifat pengantar sehingga perlu penyempurnaan di kemudian hari. Kepada semua pihak yang memberikan perhatian, saran, kritik, dan masukan demi penyempurnaan makalah ini, diucapkan banyak terima kasih. Besar harapan kami semoga dengan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin. Watampone, 14 Mei 2014 Penyusun DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 2 C. Tujuan Penulisan 2 BAB II PEMBAHASAN 3 A. Pengertian Nasikh dan Mansukh ? 3 B. Macam - macam Naiskh ? 5 C. Rukun dan Syarat Nasikh ? 8 D. Ruang lingkup Nasikh ? 9 E. Ciri - Ciri Nasikh dan Mansukh ? 11 F. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh ? 12 G. Apa hikmah keberadaan Nasikh ? 12 BAB III PENUTUP 13 A. Simpulan 13 B. Saran 14 DAFTAR PUSTAKA 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu terna dalam Ulum Al-Qur’an yang mengundang perdebatan para ulama adalah mengenai nasikh-mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama bependapat bahwa dia antara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori nasikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para ulama yang mengakui teori penghapusan itu. Ulama-ulama klasik yang menerima penghapusan dalam Al-Qur’an ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana ayat yang dihapus (mansukh). Dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disebutkan bahwa terdapat kecenderungan dikalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang fantastis. Ayat tentang jihad, misalnya telah diktakan telah membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf, dan toleran dalam keadaan tertekan. Ash-Suyuthi kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya 20 ayat. Syah Waliullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat bagimana jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan langsung menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak terdapat penghapusan. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Nasikh dan Mansukh ? 2. Apa macam - macam Naiskh ? 3. Bagaimana rukun dan syarat Nasikh ? 4. Bagaimana ruang lingkup Nasikh ? 5. Bagaimana ciri-ciri Nasikh dan Mansukh ? 6. Bagaimana mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh ? 7. Apa hikmah keberadaan Nasikh ? C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh. 2. Untuk mengetahui macam-macam Nasikh. 3. Untuk mengetahui rukun dan syarat Nasikh. 4. Untuk mengetahui ruang lingkup dari Nasikh. 5. Untuk menetahui ciri-ciri Nasikh dan Mansukh. 6. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan Nasikh dan Mansukh. 7. Untuk mengetahui hikmah dari Nasikh. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Nasikh dan Mansukh Nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya nasahati syamsu dhal’a artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata nashk juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasahetu kitaba artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termaksud dalam pengertian nashk menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan kepada ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut : 1. Hukum yang mansuhk adalah hukum syara’. 2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh. 3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan perkara Beberapa perkara yang perlu kita ketahui seputar nasikh dan mansukh adalah : a. Hukum yang dihapus adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti hukum wajib, sunnah, mubah, haram dan makru, adapun yang berhubungan dengan kabar seperti nama dan sifat Allah, kisah-kisah para Nabi, janji dan ancaman dan keutamaan amal maka tidak berlaku nasikh mansukh. b. Tidak ada nasakh untuk suatu hukum yang telah telah ditetapkan oleh syari’at karena adanya udzur, seperti gila, mati dan lain-lain. c. Hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syari’at dan ia mempunyai waktu yang telah ditentukan lalu waktunya telah habis maka tidak disebut nasakh, seperti ayat tentang sholat jum’at. d. Dalil yang menasikh (menghapus) wajib datangnya kemudian dari dalil yang dimansukh, dan jika dalil tersebut sebatas mengecualikan keumuman atau mengikat dalil yang mutlak, atau syarat tertentu maka tidak disebut nasakh. e. Nasakh tidak berlaku pada maksud-maksud (kaidah) syari’at yang bersifat umum seperti kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan dan lain-lain, tidak pula pada hukum amaliyah yang ditunjukkan oleh dalil bahwa ia untuk selama-lamanya seperti hadits yang menyebutkan bahwa hijrah tidak akan terputus sampai taubat terputus. f. Nasikh mansukh harus terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, adapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maka hukum telah menjadi tetap tidak bisa dihapus oleh ijma’ atau pendapat shahabat, atau qiyas atau ro’yu. g. Nasakh harus ada gantinya dengan hukum lain. Syaikh Muhamad bin Al Amin Asy Syanqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah sesungguhnya perkatan sebagian ahli ushul yang membolehkan nasakh tanpa ada gantinya adalah pendapat yang batil tanpa ragu, karena ia bertentangan dengan firman Allah Ta’ala : مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan (hapuskan), atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Al Baqarah : 106) B. Macam-macan Nasikh 1. Macam-macam nasikh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada 2 bagian : a. Nasikh yang Mansukh hukumnya, namun lafazhnya tetap. Inilah jenis Nash Mansukh yang paling banyak yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah naskh jenis ini adalah : tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan. Contohnya firman Allah Azza wa Jalla يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (Al Anfal : 65) Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir. b. Nasikh yang Mansukh Lafazhnya, namun hukumnya tetap. Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa nasikh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. 2. Macam-macam nasikh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus) ada empat bagian: a. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an. Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad. Pada bagian ini ulama juga berselisih yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contoh Firman Allah Azza wa Jalla : قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ Katakanlah :"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah (Al An’am : 145) Contoh lain : Firman Allah Azza wa Jalla. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (AL Mujadilah : 12) Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Allah Azza wa Jalla firmanNya: ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Mujadilah : 13) b. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah. Pada jenis ini ada dua bagian: 1) Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir. Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd d Hafd dengan Sunnah Mutawatir.” 2) Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad. Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya : Firman Allah Azza wa Jalla. قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ Katakanlah : "Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. (Al An’am : 145) B. Rukun dan Syarat Nasikh a. Rukun naskh yaitu antara lain : 1) Adat nasihk, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. 2) Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dia-lah yang membuat hukum dan dia pulalah yang menghapusnya. 3) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan,dihapuskan, atau dipindahkan. 4) Mansukh,’anh, yaitu orang yang dibebani hukum. b. Adapun syarat-syarat nasikh yaitu antara lain : 1) Yang dibatalkan adalah hukum syara’. 2) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’. 3) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berartidi naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut. 4) Tuntutan yang mengadung nasikh harus datang kemudian Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidak menerima nasakh, yaitu: a. Seluruh khabar/aqidah baik dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Sebab, pembatalan khabar berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-Qur’an dan As-sunnah mustahil memuat kebohongan. b. Hukum-hukum yang disyariatkan secara abadi. D. Ruang Lingkup Nasikh Dari uraian diatas diketahui bahwa nashk hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau engan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Naskh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id). Penununjukan adanya naskh dalam syariat. Firman Allah Azza wa Jalla. وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”. (An Nahl : 101) Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih. 1. Dalil Akal. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 2. Dalil Ijma’. Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. a. Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat slam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. b. Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. c. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. d. Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. E. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh a. Melalui pentrasmisian yang jelas (an-naql Al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya. b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh. c. Melaui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut mansukh. F. Ciri-Ciri Nasikh dan Mansukh : a. Penjelasan langsung dari Rasulullah. b. Dalam suatu nasikh terkadang terhadap keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu. c. Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian. G. Hikmah Keberadaan Nasikh a. Menjaga kemaslahatan hamba. b. Pengembangan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri. c. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus. d. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. BAB III PENUTUP A. Simpulan 1. Pengertian Nasikh dan Mansukh a. Definisi nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya: nasahati syamsu dhal’a artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata nashk juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasahetu kitaba artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. b. Menurut istilah naiskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termaksud dalam pengertian nashk menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. c. Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan, maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya,misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh). 2. Ciri-Ciri Nasikh dan Mansukh Nasikh dan Mansukh a. Penjelasan langsung dari Rasulullah. b. Dalam suatu nasikh terkadang terhadap keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu. c. Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian. 3. Dasar-Dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh a. Melalui pentrasmisian yang jelas (an-naql Al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya. b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh. c. Melaui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut mansukh. 4. Hikmah Keberadaan Nasikh a. Menjaga kemaslahatan hamba. b. Pengembangan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri. c. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus. d. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. B. Saran Demikianlah penulisan makalah yang berjudul “Nasikh dan Mansukh” ini di buat berdasarkan sumber yang ada. Kami juga menyadari, masih ada banyak kekurangan di dalam penulisan makalah ini. Sehingga perlulah bagi kami, dari para pembaca untuk memberikan saran yang membantu supaya makalah ini mendekati yang lebih baik. Atas perhatian semua pihak, saya ucapkan terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Al-Ihkaami, Fii Ushulil Fiqh, Jakarta: Bulan bintang 2000. Ushulul Fiqh, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, h. 45 Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150 Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150 Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66 Manna, Khalil, Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Pustaka Litera: Litera Antar Nusa)2013 .H. 325 Manna, Khalil, Al-Qatan,0p-cit, hal.339 Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi, hal: 425 Page 2 |