Dalam perjalanan Isra Miraj Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan Nabi Musa apa?

Oleh : itsmad | | Source : ITS Online

Ilustrasi Isra’ Mi’raj. (sumber: waspada.co.id)

Kampus ITS, Opini — Saya yakin, pembaca sekalian sudah berulang kali mendengar kisah Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad. Keajaiban demi keajaiban Allah tampakkan di malam yang mulia itu. Dari peristiwa tersebut, banyak hikmah yang bisa diambil, salah satunya ketika Nabi Musa meminta Nabi Muhammad untuk memohon keringanan pada Allah terkait jumlah salat fardu. Melalui tulisan ini, saya akan menjelaskan hikmah apa yang dapat diambil dari permintaan Nabi Musa tersebut.

Dinukil dari tulisan Imam Ahmad bin Muhammad As-Showi, seorang ulama Al-Azhar Mesir sekaligus pakar tafsir, hadis, fiqih dan qiroat, melalui kitab berjudul Hasyiyah As-Showi Ala Al-Jalalain, Imam Ahmad menjelaskan bahwa tindakan Nabi Musa yang sering dimaknai sekedar permohonan “tawar-menawar” jumlah salat fardu untuk umat Nabi Muhammad bukanlah tanpa alasan.

Latar Belakang Sejarah Nabi Musa

Nabi Musa adalah seorang rasul bergelar Kalimullah yang juga termasuk dalam jajaran Ulul Azmi, yakni lima rasul berkedudukan tinggi di sisi Allah. Di antara rasul lain, selain Nabi Muhammad, Nabi Musa diberi keistimewaan Allah untuk dapat berbincang dengan-Nya di Bukit Turisina. Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 164 yang artinya, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung,”.

Oleh karena mukjizat luar biasa ini, Nabi Musa yang sangat ingin mendengar kalimat dari Dzat yang sangat dicintainya itu harus mempersiapkan batin yang suci, salah satunya dengan berpuasa selama 40 hari berturut-turut. Hingga pada akhirnya, terjadilah momen luar biasa kala itu yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 143.

Selayaknya kekasih, tidak hanya ingin berbincang, lebih lanjut, Nabi Musa juga ingin melihat Dzat-Nya secara langsung, sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Ya Tuhanku nampakkan (diri Engkau) agar aku dapat melihat-Mu,”. Namun permohonan itu dijawab oleh Allah, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihatku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku,”.

Sebagian ulama menafsirkan, kala itu hijab antara Dzat Allah dan Nabi Musa berjumlah 70.000 hijab. Namun, hanya satu dari keseluruhan hijab yang pada akhirnya dibuka oleh Allah dan “dipantulkan” pada sebuah gunung yang kokoh untuk menuruti permohonan Nabi Musa itu. Namun, dengan begitu saja, gunung tersebut luluh lantak dan Nabi Musa pun terjatuh hingga pingsan. Setelah sadar, Nabi Musa pun bertobat atas permohonannya tersebut serta menyucikan nama-Nya.

Hikmah Kala Bertemu Nabi Muhammad

Kegagalan Nabi Musa memandang dan mendapatkan “cahaya” Allah membuat keinginannya mendapatkannya di lain waktu semakin besar. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Nabi Musa selalu menghadang Nabi Muhammad sesaat setelah menemui Allah dan mengajukan permohonan agar Nabi Muhammad kembali untuk meminta keringanan salat fardu kepada Allah.

Tindakan tersebut sebenarnya bukan hanya sekedar aktivitas “tawar-menawar”. Namun, melalui tindakan tersebut, sejatinya Nabi Musa ingin mendapat “cahaya” Allah yang gagal didapatkannya dahulu. Sebab, sesaat setelah menemui Allah, “cahaya” Allah membekas pada diri Nabi Muhammad dan dibawanya turun ke bumi. Berulang kali tindakan tersebut dilakukan Nabi Musa agar semakin banyak “cahaya” dan berkah yang didapatkannya.

Nilai Moral

Para Nabi merupakan orang-orang pilihan Allah. Oleh karenanya, segala tindakan yang dilakukan para Nabi selalu memiliki hikmah tertentu dan seringkali tidak serta-merta seperti yang dipikirkan manusia pada umumnya. Kisah Nabi Musa diatas membuka pikiran kita bahwa peristiwa tersebut sebenarnya bukan hanya sekedar peristiwa “tawar-menawar” jumlah salat fardu biasa, namun terdapat nilai moral di dalamnya.

Di antara moral tersebut adalah adanya kebolehan dan anjuran untuk mengambil berkah dari orang-orang yang saleh. Sebab, dalam diri orang saleh tersebut, tersimpan “cahaya” kebaikan yang selalu dibawanya dan akan menyinari batin orang-orang yang menginginkannya. Hingga pada akhirnya, “cahaya” kebaikan itulah yang dapat menghidupkan batin untuk menjadi hamba Allah yang beriman.

Ditulis oleh:
Akhmad Rizqi Shafrizal
Mahasiswa Departemen Teknik Sistem Perkapalan
Angkatan 2018
Reporter ITS Online

Pertemuan Nabi Muhammad dengan Nabi Musa terjadi dua kali. Pertama di langit keenam, sebagaimana telah kita bahas di artikel sebelumnya. Kali kedua terjadi di langit ketujuh. Pengulangan pertemuan ini bukan suatu yang aneh. Kalau pertemuan ini memang diperlukan. Bahkan Nabi Muhammad berulang-ulang berjumpa dengan Nabi Musa setelah menerima wahyu shalat.

Table of Contents Show

  • Apa itu Isra'?
  • Apa itu Mi’raj?
  • Video yang berhubungan

Setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat sungai-sungai, dan Baitul Ma’mur, beliau kembali berjumpa dengan Musa ‘alaihissalam. Di tempat yang tak ada satu makhluk pun yang mencapai derajat setinggi itu. Hal ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan Musa ‘alaihissalam.

Kedudukan Nabi Musa

Penting bagi kita mengetahui kedudukan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam kaca mata syariat. Karena selain mengetahui posisi dan keagungan beliau, hal ini juga menimbulkan kecintaan kita kepada beliau.

Pertama: Musa adalah kalimullah.

Nabi Musa ‘alaihissalam adalah satu-satunya rasul selain nabi kita Muhammad, yang diajak berdialog oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. Terdapat sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:

وَمُوسَى فِي السَّابِعَةِ بِتَفْضِيلِ كَلاَمِ اللهِ، فَقَالَ مُوسَى: رَبِّ لَمْ أَظُنَّ أَنْ يُرْفَعَ عَلَيَّ أَحَدٌ، ثُمَّ عَلاَ بِهِ فَوْقَ ذَلِكَ بِمَا لاَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ اللهُ، حَتَّى جَاءَ سِدْرَةَ المُنْتَهَى

“Dan Musa berada di langit ketujuh karena keutamaannya sebagai kalimullah (orang yang diajak dialog oleh Allah). Musa berkata, ‘Rabbku, kukira tak ada seseorang pun yang diangkat mencapai apa yang aku capai’. Kemudian Jibril mengangkat Nabi Muhammad lebih tinggi lagi. Yang tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Hingga Sidratul Muntaha.”

Riwayat ini menunjukkan ketinggian derajat Nabi Musa ‘alaihissalam. Beliau jelas-jelas berada di langit ketujuh. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menjelaskan alasannya, beliau adalah kalimullah. Beliau berada di tempat yang istimewa. Tempat yang tak dicapai para nabi lainnya. Allah Ta’ala telah memuliakannya sewaktu ia di dunia. Mengajaknya berdialog dan tidak mengajak nabi selainnya. Sampai diutusnya nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala mengajak beliau berdialog dan mengangkat kedudukan beliau melebihi Rasulullah Musa ‘alaihissalam.

Pertemuan ini berbeda dengan pertemuan keduanya di langit keenam. Di langit keenam, ada proses pengenalan. Nabi Musa ‘alaihissalam menangis saat berjumpa dengan Nabi Muhammad. Dan tangisan ini tak terjadi di perjumpaan kedua.

Kedua: Kedudukan Yang Tak Dicapai Nabi Lainnya

Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radahiallahu ‘anhuma, beliau berkata ketika menafisrkan firman Allah Ta’ala:

وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا

“Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” [Quran Maryam: 52].

“Nabi mendengar suara goresan pena ketika menulis di atas al-Lauh (al-Mahfuzh).” (HR. al-Hakim, 3414).

Ayat ini berbicara tentang Musa ‘alaihissalam. Jadi, Musa sangat dekat posisinya dengan Allah Ta’ala. Kedekatan yang tak dijangkau oleh selainnya. Hal ini pula yang nanti akan terjadi para nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga: Perjumpaan setelah menerima wahyu shalat.

Usai berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla dan wahyu shalat, nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa kembali dengan Nabi Musa ‘alaihissalam. Tak ada satu pun keterangan yang shahih, yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad berjumpa dengan selain Musa. Atau melewati sesuatu yang perlu dijelaskan faidahnya. Beliau hanya berjumpa dengan Musa. Tentu hal ini semakin menegaskan kedudukan Nabi Musa ‘alaihissalam. Pertemuan yang terjadi setelah perjumpaan beliau dengan Allah.

Dari sini kita bisa mengambil faidah, mengapa Alquran begitu banyak menceritakan dan menyebutkan tentang Nabi Musa ‘alaihissalam.

Mendengar Goresan Pena Pencatat Takdir

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ عُرِجَ بِي حَتَّى ظَهَرْتُ لِمُسْتَوَى أَسْمَعُ فِيهِ صَرِيفَ الأَقْلاَمِ

“Kemdian aku dinaikkan hingga mencapai suatu tempat yang aku bisa mendengar goresan pena.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab ash-Shalah 342 dan Muslim dalam Kitab al-Iman 163).

Yang dimaksud suara goresan pena adalah suara goresan pena-pena para malaikat yang mencatat takdir yang Allah Ta’ala tentukan. Para malaikat memiliki buku catatan. Mereka menulisinya dengan pena-pena mereka. Allah Ta’ala menetapkan malaikat di langit menulis sebagaimana malaikat di bumi pun menulis. Seperti dijelaskan dalam hadits bahwa di hari Jumat malaikat menulis nama-nama yang mereka yang masuk masjid sebelum khotib naik mimbar.

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلاَئِكَةٌ يَكْتُبُونَ الأَوَّلَ فَالأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الإِمَامُ طَوَوُا الصُّحُفَ، وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ..

“Jika hari Jumat tiba, pada tiap pintu-pintu masjid terdapat malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang pertama mendapat kedudukan pertama. Jika imam duduk, mereka tutup lembar catatan dan masuk untuk mendengar dzikir (khutbah)…” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Wahyi 3039 dan Muslim dalam Kitab al-Jum’ah, 850. Lafadz hadits ini adalah lafadz riwayat Muslim).

Setelah ini semua, barulah terjadi perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Membaca dan memahami rangkaian perjalanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam isra’ mi’raj membantu kita memahami akidah yang agung, yakni bahwa Allah Ta’ala berada di atas. Tinggi di atas semua makhluknya. Akidah yang agung ini sesuai dengan kemuliaan Allah Ta’ala. Dan kelirulah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala berada dimana-mana.

Sumber:
– https://islamstory.com/ar/artical/3406665/لقاء-موسى-وصريف-الأقلام

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com

Dalam perjalanan Isra Miraj Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertemu dengan Nabi Musa apa?

Kamis, 11 Maret 2021 bertepatan dengan Peringatan Isra' Mi'raj 1442 H yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 621 Masehi dan pada waktu itu umur Baginda Nabi Muhammad SAW adalah 51 tahun. Apakah semua sudah tahu peristiwa Isra' Mi'raj ? Peristiwa Isra' Mi'raj adalah perjalanan agung Nabi Muhammad menuju langit ke-7 untuk menerima perintah shalat dari Allah SWT. Kisah tersebut terjadi pada suatu malam pada tanggal 27 Rajab.

Peristiwa singkat Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW.

Isra' Mi'raj merupakan sebuah peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Dalam Isra' Mi'raj, Rasulullah Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalem, Palestina menuju langit ke tujuh kemudian ke Sidratul Muntaha. Perjalanan yang menembus langit ketujuh itu hanya ditempuh satu malam atas perintah Allah SWT. Di sanalah Nabi Muhammad SAW menerima perintah dari Allah SWT berupa shalat lima waktu. Mengapa dikatakan Isra' Mi'raj

Apa itu Isra'?

Isra' adalah Perjalanan Baginda Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Al-Aqsa, dengan jarak antara kedua mesjid itu adalah 1239 Km. Waktu itu Rasulullah menaiki Buraq ditemani malaikat Jibril A.S dan malaikat Israfil A.S.

Apa itu Mi’raj?

Mi’raj adalah perjalanan Baginda Rasulullah SAW dari Masjidil Al-Aqsa ke Sidratul Muntaha, kemudian di perjalanan Baginda bertemu Nabi-nabi pada setiap langit sampai langit ketujuh.

Sebenarnya Isra' dan Mi'raj merupakan dua peristiwa berbeda. Namun karena dua peristiwa ini terjadi pada waktu yang bersamaan maka disebutlah Isra' Mi'raj.

Dalam perjalanan bertemu Sang Pencipta, selain ditemani malaikat Jibril, Rasullulah mengendarai Buraq, yakni hewan putih panjang, berbadan besar melebihi keledai dan bersayap. Dikisahkan Buraq, sekali melangkah bisa menempuh perjalanan sejauh mata memandang dalam sekejap untuk melewati 7 langit dan bertemu dengan para penghuni di setiap tingkatan.

Dalam hadits tersebut dikisahkan, di langit tingkat pertama, Rasullulah SAW bertemu dengan manusia sekaligus Wali Allah SWT pertama di muka bumi, Nabi Adam A.S. Saat bertemu nabi Adam, Rasullulah sempat bertegur sapa sebelum akhirnya meninggalkan dan melanjutkan perjalanannya. Nabi Adam membalasnya dengan membekali Rasulullah lewat doa agar selalu diberi kebaikan pada setiap urusan yang dihadapinya.

Kemudian di langit kedua, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Isa A.S dan Nabi Yahya A.S. Seperti halnya di langit pertama, Rasullulah disapa dengan ramah oleh kedua nabi pendahulunya. Sewaktu akan meninggalkan langit kedua, Nabi Isa A.S dan Yahya A.S juga mendoakan kebaikan kepada Rasullulah. Kemudian Rasullulah bersama Malaikat Jibril terbang lagi menuju langit ketiga.

Lalu di langit ketiga, Rasullulah bertemu dengan Nabi Yusuf A.S, manusia tertampan yang pernah diciptakan Allah SWT di bumi. Dalam pertemuannya, Nabi Yusuf A.S memberikan sebagian dari ketampanan wajahnya kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga di akhir pertemuannya, Nabi Yusuf A.S memberikan doa kebaikan kepada nabi terakhir itu.

Setelah berpisah dengan Nabi Yusuf A.S di langit ketiga, Nabi Muhammad melanjutkan perjalanan dan sampailah dia ke langit keempat. Pada tingkatan ini, Rasullulah bertemu Nabi Idris A.S. Yaitu manusia pertama yang mengenal tulisan, dan nabi yang berdakwah kepada bani Qabil dan Memphis di Mesir untuk beriman kepada Allah SWT. Seperti pertemuan dengan nabi-nabi sebelumnya, Nabi Idris A.S memberikan doa kepada Nabi Muhammad SAW supaya diberi kebaikan pada setiap urusan yang dilakukannya.

Selanjutnya di langit kelima, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Harun. Yaitu nabi yang mendampingi saudaranya, Nabi Musa A.S berdakwah mengajak Raja Firaun yang menyebut dirinya tuhan dan kaum Bani Israil untuk beriman kepada Allah SWT. Harun terkenal sebagai nabi yang memiliki kepandaian berbicara dan meyakinkan orang. Di langit kelima, Nabi Harun mendoakan Nabi Muhammad SAW senantiasa selalu mendapat kebaikan pada setiap perbuatannya.  

Pada langit keenam, Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril bertemu dengan Nabi Musa A.S. Yaitu nabi yang memiliki jasa besar dalam membebaskan Bani Israil dari perbudakan dan menuntunnya menuju kebenaran Illahi. Selama bertemu dengan Muhammad SAW, Nabi Musa A.S menyambut layaknya kedua sahabat lama yang tidak pernah bertemu. Sebelum Nabi Muhammad pamit meninggalkan langit keenam, Nabi Musa melepasnya dengan doa kebaikan.

Perjalanan terakhir, Nabi Muhammad SAW ke langit ketujuh bertemu dengan sahabat Allah SWT, bapaknya para nabi, Ibrahim A.S. Sewaktu bertemu, Nabi Ibrahim sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Makmur, yaitu suatu tempat yang disediakan Allah SWT kepada para malaikatnya. Setiap harinya, tidak kurang dari 70 ribu malaikat masuk ke dalam. Kemudian Nabi Ibrahim mengajak Muhammad untuk pergi ke Sidratul Muntaha sebelum bertemu dengan Allah SWT untuk menerima perintah wajib salat. Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon besar yang berada di langit ketujuh. Ia adalah pemisah. Disebut muntaha (akhir) karena ia merupakan batas akhir dari sebuah perjalanan. Tidak ada satu makhluk pun yang pernah melewatinya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Sedangkan Pohon Sidr adalah Pohon Bidara.
                                       

Masih dalam hadits yang sama, Rasullulah SAW menceritakan bentuk fisik dari Sidratul Muntaha, yaitu berdaun lebar seperti telinga gajah dan buahnya yang menyerupai tempayan besar. Namun ciri fisik Sidratul Muntaha berubah ketika Allah SWT datang. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak bisa berkata-kata menggambarkan keindahan pohon Sidratul Muntaha. Pada kepercayaan agama lain, Sidratul Muntaha juga diartikan sebagai pohon kehidupan. Di Sidratul Muntaha inilah Nabi Muhammad berdialog dengan Allah SWT, untuk menerima perintah wajib salat lima waktu dalam sehari.

Perjalanan Rasulullah saat itu tidak lah mudah, meskipun beliau dimuliakan oleh Allah SWT tetap saja Nabi Muhammad SAW dihadapkan dengan berbagai godaan. Godaan pertama, ketika nabi ditawari meminum khamar atau susu, namun Rasulullah lebih memilih susu. Selama perjalanan Nabi Muhammad SAW juga selalu diganggu dengan panggilan dari setan, iblis dan perempuan penggoda.

Ketika mencapai Sidratul Muntaha di langit ketujuh maka perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam menerima perintah Allah SWT telah berakhir. Perintah yang diterima Rasulullah saat itu yaitu berupa perintah sholat 50 waktu dalam satu hari. Namun ketika menerimanya, Nabi Muhammad SAW diperingatkan oleh nabi Musa A.S untuk memperhatikan kemampuan umatnya.

Menyadari hal itu membuat Nabi Muhammad SAW meminta keringanan pada Allah SWT sehingga perintah sholat diringankan menjadi lima waktu dalam sehari. Sejak saat itulah umat Muslim harus melakukan shalat wajib lima waktu yaitu :

  1. Subuh
  2. Zuhur
  3. Ashar
  4. Magrib
  5. Isya

Dengan adanya kisah perjalanan ini semoga dapat mempertebal keimanan dengan tidak meninggalkan shalat lima waktu yang disyariatkan.

Peristiwa Isra' Mi'raj juga telah tertuang dalam Al-Qur'an surat Al Isra:

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Demikian kisah tentang bagaimana peristiwa Isra' Mi'raj terjadi. Semoga selalu jadi pengingat kita untuk tetap menjalankan perintah Allah SWT. آمِيْن يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ