Bolehkah tidak mandi wajib setelah haid?

Liputan6.com, Cilacap - Perihal hukum boleh tidaknya berhubungan intim atau menjima istri yang telah selesai haid, tetapi belum melakukan mandi besar terjadi perbedaan pendapat di kalangan para imam mazhab.

  • Tata Cara Tayamum Lengkap dengan Bacaan Niat, Doa dan Artinya
  • Gus Baha: Meski Sunah, Saat Salat Upayakan Baca Iftitah karena Bisa Jadi Ahli Surga
  • Umat Islam Harus Tahu, Ternyata Ini Sejarah Puasa Asyura dan Tasua

Perbedaan ini dilatarbelakangi perbedaan penafsiran tentang makna “suci” dalam surat Al Baqarah ayat 222:

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka (istri-istri) telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222).

Melansir NU Online, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud “suci” dalam ayat di atas adalah berhentinya darah haid atau menstruasi.

Artinya, jika darah menstruasi telah berhenti maka diperbolehkan melakukan berhubungan badan atau hubungan seksual, sekalipun sang istri belum mandi besar.

Saksikan Video Pilihan Ini:

Mengintip Repotnya Merawat Bayi Kembar 3 di Cilacap

**Gempa Cianjur telah meluluhlantakkan Bumi Pasundan, mari bersama-sama meringankan penderitaan saudara-saudara kita di Cianjur dengan berdonasi melalui: rekening BCA No: 500 557 2000 A.N Yayasan Pundi Amal Peduli Kasih. Bantuan akan disampaikan dalam bentuk sembako, layanan kesehatan, tenda, dll. Kepedulian kita harapan mereka.

Pendapat yang Membolehkan Berhubungan Intim Tanpa Mandi Besar

Imam Abu Hanifah memaknai kata “Yathurna” dan “Tatahharna” pada ayat di atas dengan “berhentinya darah menstruasi”. Dengan demikian, larangan menyetubuhi istri hanya sampai batas waktu berhentinya darah menstruasi. Setelah darah berhenti, maka diperbolehkan menyetubuhinya.

Meskipun demikian, Abu Hanifah mensyaratkan durasi waktu haid telah mencapai 10 hari atau lebih. Jika belum mencapai 10 hari atau lebih tetapi darahnya berhenti atau tidak keluar lagi, maka tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri sebelum terlebih dahulu mandi besar.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 3, halaman 553 menulis demikian:

وأجاز أبو حنيفة إتيان المرأة إذا انقطع دم الحيض، ولو لم تغتسل بالماء إلا أنه إذا انقطع دمها بعد أكثر الحيض (عشرة أيام) حلت حينئذ، وإن انقطع دمها لأقل من عشرة أيام، لم تحل حتى يمضي وقت صلاة كامل أو تغتسل

“Abu Hanifah membolehkan hubungan badan dengan istri bila darah haidhnya telah selesai meskipun ia belum mandi wajib. Tetapi, jika darah haidh itu berhenti setelah masa haid (10 hari), maka (ia) halal ketika itu. Jika darah itu berhenti persis kurang dari 10 hari, maka ia belum halal hingga waktu shalat sempurna berlalu atau ia mandi wajib,”

Pendapat yang Tidak Membolehkan Berhubungan Intim Sebelum Mandi Besar

Adapun pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan, makna suci adalah bersuci dengan air atau mandi besar.

Artinya, agar diperbolehkan melakukan hubungan seksual, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu: berhentinya darah dan sudah mandi besar. Mereka memahami kata “Yathurna” dan “Tatahharna” pada ayat tersebut hanya dapat dilakukan setelah melakukan “mandi besar”.

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh

ولم يجز الجمهور غير أبي حنيفة إتيانها حتى ينقطع الحيض، وتغتسل بالماء غسل الجنابة

“Mayoritas ulama selain Abu Hanifah, tidak membolehkan hubungan badan seseorang dengan istrinya hingga darah haidh itu benar-benar berhenti dan istrinya mandi wajib terlebih dahulu,”

Dengan demikian, berdasarkan pendapat mayoritas ulama melarang menyetubuhi istri yang telah selesai haid akan tetapi belum melakukan mandi besar.

Penulis: Khazim Mahrur

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pertanyaan

Seorang wanita telah mandi besar pada awal malam, namun ia masih belum yakin akan kesuciannya dari haid, hanya dugaan kuat bahwa ia sudah suci, dan sebelum subuh ia baru yakin akan kesuciannya, ia berpuasa, shalat tanpa melakukan mandi besar lagi, maka apakah puasa dan shalatnya sudah benar ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Suci dari haid itu bisa diketahui dengan salah satu dari dua tanda:

  1. Keluarnya cairan putih yang disudah dikenali oleh para wanita
  2. Benar-benar mengering, kalau misalnya diletakkan di atasnya sebuah kapas atau yang lain akan tetap bersih tidak ada bekas darah, kekuningan atau kecoklatan.

Bagi seorang wanita hendaknya jangan buru-buru mandi besar sampai benar-benar suci.

Imam Bukhori –rahimahullah- berkata:

“Bab datang dan berlalunya haid, para wanita mendatangi Aisyah dengan membawa pembalut yang ada kapasnya dan ada bercak kekuningan di atasnya, beliau berkata: “Jangan buru-buru sampai kalian melihat cairan putih (bening), yang beliau maksud adalah suci dari haid, dan hal itu didengar putrinya Zaid bin Tsabit bahwa banyak wanita yang mencari lampu di tengah malam untuk melihat masa suci tersebut, ia berkata: “Tidaklah para wanita melakukan hal itu dan ia mencela mereka”.

Ad Durajah: pembalut yang dipakai wanita baik dari kapas atau yang lainnya, agar diketahui masih ada sisa haid atau tidak.

Al Kursuf: Kapas

Al Qusshah al Baidha’: sampai kapas tersebut bersih bening tidak tercampur dengan flek kekuningan.

Kedua:

Jika seorang wanita meyakini masa sucinya sebelum subuh, maka ia wajib berpuasa (red. pada bulan Ramadhan)

Namun jika ia belum yakin, maka puasanya tidak sah, meskipun pada hari tersebut sudah tidak keluar apa-apa; karena niat berpuasa itu tidak sah kecuali sudah memastikan haidnya sudah selesai.

Ketiga:

Jika seorang wanita mandi besar di awal malam namun ia belum yakin akan kesucian dirinya dari haid, kemudian ia baru meyakininya sebelum subuh, dan ia tetap berpuasa, shalat dan tidak mengulangi mandinya lagi, maka puasanya sah namun shalatnya tidak sah.

Hal itu karena puasa itu syaratnya adalah terhentinya haid, meskipun ia belum mandi besar.

Adapun shalat, maka ia harus mandi besar dahulu, mandi besar yang pertama tidak sah karena ia masih ragu-ragu akan terhentinya darah haid.

Di sebutkan di dalam Muntahal al Iradaat (1/52):

“Dan syarat mandi besar itu adalah selesainya haid dan nifas, maksudnya terhentinya darah haid dan nifas, karena ketidakberadaan keduanya maka mandi besar itu ada”.

Disebutkan di dalam Kasyfu al Qana’ (1/146) dalam bab diwajibkannya mandi:

“Yang kelima: keluarnya darah haid, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Fatimah binti Abi Hibaisy:

وإذا ذهبت فاغتسلي وصلي

متفق عليه

“Dan jika (darah) haid sudah tidak ada, maka mandilah dan shalatlah”. (Muttafaqun ‘Alaih)

Beliau juga memerintahkan hal yang sama kepada Ummu Habibah, Sahlah binti Suhail, Hamnah, dan yang lainnya.

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ala:

فإذا تطهرن فأتوهن

البقرة: 222

“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka…”. (QS. Al Baqarah: 222)

Maksudnya jika mereka telah mandi besar. Maka suaminya dilarang untuk mencampurinya sebelum ia mandi besar, maka hal itu menunjukkan wajibnya mandi baginya.

Maka wajibnya mandi karena keluar haid mengikuti hukum sebabnya, dan terhentinya darah haid menjadi syarat sahnya”.

Wallahu A’lam.

Apakah boleh tidak mandi wajib setelah haid?

Maka bagi perempuan yang telah selesai masa haidnya wajib untuk melakukan mandi wajib. “Nawaitu ghusla liraf'il hadatsil akbari minal haidhi fardhan lillaahi ta'aalaa.”

Apa hukumnya kalau tidak mandi wajib?

Tidak sah ibadah seorang muslim jika dia dalam kondisi berhadas besar. Ia harus mandi wajib atau mandi besar terlebih dahulu supaya bisa melaksanakan ibadah salat atau puasa. Seseorang yang belum mandi besar dinilai masih bernajis sehingga menghalanginya untuk beribadah.

Apakah berdosa jika tidak mandi wajib haid karena sakit?

Jawaban: "Apabila seseorang harus mandi wajib karena suci dari haid, tetapi sedang sakit, tetap ada rukhsah (keringanan) baginya untuk menunda mandi wajib. “Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”