Show Damianus Kusviantono S.Pd M.Pd
Pada tanggal 1 April 2010, kami di Katolisitas menerima pesan yang sungguh tajam, yang diawali dengan kalimat demikian, “Salam dari Sydney, Australia. Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yang sekarang pindah ke Kristen [Protestan]. Penyebabnya adalah dikarenakan karena pengajaran agama Katolik tidak benar-benar berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi…. hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan. Tetapi Alkitab adalah datang dari Tuhan. Mungkin hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yang tidak pernah tahu tentang sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.” Demikianlah pesan yang kami terima dari Sherly, Australia. Komentar ini merupakan awal dari dialog yang panjang antara dia dengan kami di Katolisitas. Namun semua tanggapan- tanggapannya malah menunjukkan suatu fakta bahwa sesungguhnya, Sherly-lah yang belum sempat memahami ajaran Gereja Katolik yang sebenarnya, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Demikianlah, pandangan Sherly ini menjadi pandangan umum yang mungkin dimiliki oleh banyak orang yang pindah dari Gereja Katolik ke gereja- gereja non- Katolik. Sayang memang, bahwa mereka pindah sebelum sungguh-sungguh mengenal iman Katolik mereka. “Tak kenal maka tak sayang”, nampaknya inilah yang terjadi. Banyak orang Katolik tidak dengan sungguh mengenal iman Katolik, sehingga mereka dengan mudah berpindah ke gereja- gereja lain.
Walaupun ada banyak alasan yang dikemukakan, namun setidaknya, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa orang Katolik berpindah ke gereja lain. Umumnya, alasannya adalah karena mereka merasa imannya tidak bertumbuh di Gereja Katolik; mereka berpikir bahwa ajaran Gereja Katolik itu salah/ tidak sesuai dengan Alkitab; mereka merasa orang- orang Katolik hidupnya tidak baik dan mereka merasa tidak diperhatikan di dalam Gereja Katolik. Alasan- alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan adanya kerapuhan akar iman Katolik dalam diri orang yang bersangkutan, di samping ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki dalam kehidupan menggereja dan proses katekese di dalam Gereja Katolik. Namun, adalah satu kenyataan, bahwa mereka tidak sungguh- sungguh mengenal dan menghayati imannya, sehingga mudah terpengaruh, gampang ragu, atau akhirnya apatis sambil mengatakan, “ah, kan semua agama sama saja”. Secara obyektif harus diterima, bahwa akar permasalahan ini sesungguhnya berawal dari kurangnya pendidikan iman Katolik pada anak- anak Katolik, sejak usia dini, baik di dalam keluarga, paroki maupun sekolah. Sebab, jika iman sudah berakar sejak usia dini, sesungguhnya seseorang tidak akan pernah meragukan imannya atau dengan mudah berpindah gereja, atau bahkan berpindah agama. Sekarang, mari kita lihat permasalahan pendidikan iman Katolik, mulai dari menggambarkan kondisi ideal dan membandingkannya dengan kondisi yang banyak dialami oleh keluarga, paroki dan sekolah. Setelah itu, kita akan melihat secara mendalam tentang tantangan di masing-masing tingkatan serta usulan-usulan untuk memperbaikinya. Idealisme dan kenyataan1. Seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahuAdalah suatu impian dari Gereja, bahwa semua anggota dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu menciptakan suatu iklim, di mana setiap umat Allah dapat terus berjuang dalam kekudusan, sehingga pada akhirnya seluruh umat Allah dapat sampai pada Tanah Terjanji, yaitu Surga. Sungguh menjadi suatu kondisi yang begitu ideal, jika keluarga -sebagai Gereja yang terkecil- menjadi tempat di mana anak-anak mendapatkan pondasi yang kokoh dalam iman Katolik dan anak-anak dapat belajar untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan kata lain, keluarga menjadi tempat di mana anak-anak dapat bertumbuh dalam kekudusan. Situasi yang kondusif di dalam keluarga untuk bertumbuh dalam kekudusan seyogyanya berlangsung terus-menerus, juga ketika anak-anak berada di sekolah. Keluarga dan sekolah harus bersama- sama melakukan pembentukan dan pembinaan karakter anak- anak untuk menjadi seperti pribadi Kristus. Pendidikan sekolah yang baik berfokus pada pembentukan anak-anak untuk menemukan jati dirinya sebagai anak-anak Allah, dan membantu anak-anak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan pikiran. Kasih kepada Tuhan ini juga dimanifestasikan dalam mengasihi sesama, yaitu anak-anak dilatih untuk menjadi seseorang yang tidak hanya memikirkan kepandaian/ kebaikan sendiri, namun juga mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Sekolah menjadi suatu tempat, di mana anak-anak dapat memusatkan perhatian pada sesuatu yang benar- benar baik, benar, dan indah (the good, truth, and beautiful); dan bahwa di dalam kebersamaan, sesuatu yang baik, benar dan indah tersebut, semakin menampakkan buah- buahnya. Selanjutnya, setelah mendapatkan pondasi iman di dalam keluarga dan sekolah, maka Gereja di tingkat paroki memberikan kesegaran kepada anak-anak dengan memperkuat pondasi iman, menyegarkan dan menguatkan anak-anak dengan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Anak- anak yang mengikuti Bina Iman di paroki dilatih untuk mengetahui dan mengasihi Sabda Allah dan iman Katolik. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga dapat memperdalam iman mereka dengan mengikuti berbagai kegiatan pembinaan iman di paroki, sehingga mereka dapat mengajarkan iman Katolik yang benar kepada anak-anak mereka di dalam keluarga. Dengan kondisi yang kondusif di keluarga, sekolah dan paroki, anak-anak dapat dibentuk dan diarahkan untuk memberikan dirinya kepada Tuhan, dan masyarakat sekitarnya, sehingga pada akhirnya kekristenan dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani. 2. Bagian-bagian dari Tubuh Mistik Kristus belum saling mendukungNamun, sayangnya kondisi yang kondusif di keluarga, paroki maupun di sekolah, seperti yang digambarkan di atas, sering tidak kita jumpai; entah karena semua bagian kurang menjalankan fungsinya atau hanya satu atau dua bagian yang menjalankan fungsinya dengan baik. Betapa sering kita menjumpai keluarga-keluarga, di mana orang tua, yang walaupun keduanya Katolik, tidak memperhatikan pendidikan iman anak-anaknya, atau hanya seolah-olah mencukupi kebutuhan fisik anak-anak. Hal ini dipersulit dengan kondisi pekerjaan dan kemacetan di kota-kota besar, sehingga orang tua kurang mempunyai waktu yang cukup bagi anak-anaknya. Kondisi yang kurang mendukung di dalam keluarga diperparah dengan kondisi yang cukup memprihatinkan di dalam pendidikan di sekolah. Sebagian sekolah non-Katolik tidak memberikan pendidikan Katolik dengan baik, bahkan kadang-kadang mengajarkan pokok-pokok iman yang bertentangan dengan iman Katolik. Sekolah Katolik sendiri mulai kehilangan identitasnya, di mana nama ‘Katolik’ seolah hanya diartikan sebatas memberikan pelajaran agama Katolik seminggu sekali dan Misa bersama sebulan sekali. Padahal sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang holistik untuk menyampaikan pendidikan iman yaitu: iman Katolik yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan di sekolah, di setiap mata pelajaran, dan di setiap kegiatan di sekolah untuk membentuk karakter anak dengan baik, sehingga mereka tidak hanya bertumbuh dalam hal intelektual, tetapi juga dalam hal kekudusan. Kondisi yang kurang ideal dapat juga terjadi dalam kehidupan menggereja di tingkat paroki. Secara umum, paroki-paroki cenderung lebih menekankan akan banyaknya kegiatan tanpa memperhatikan kesinambungan pembinaan iman secara terus-menerus, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa. Dikotomi dalam pendidikan iman Katolik1. Kontinuitas vs hit and runKalau kita amati, ada banyak kegiatan-kegiatan di dalam gereja yang bersifat hit and run, artinya program-program tersebut diselenggarakan sesekali dalam satu tahun dan kemudian selesai tanpa koordinasi dengan program-program yang lain, tanpa ada tindak lanjut dari program tersebut setelah acara selesai. Program-program seperti ini memang lebih mudah dilaksanakan dan dikoordinasikan, namun hanya mempunyai efek sesaat. Sedangkan, program-program yang bersifat berkesinambungan kurang mendapat perhatian yang serius. Kemungkinan sebabnya adalah karena program-program seperti ini membutuhkan komitmen yang besar, dan umumnya kurang memperlihatkan efeknya dalam waktu singkat, walaupun dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih efektif. Sebagai contoh, program-program seminar sehari di paroki dengan topik yang bermacam-macam menjamur sepanjang tahun. Namun, program-program seperti pendampingan kehidupan perkawinan, pembinaan rohani komunitas basis, pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi dan komitmen yang terus menerus dari para pembinanya tidak terlalu mendapatkan prioritas dalam kehidupan menggereja. Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari Kristus sendiri yang hadir dalam sakramen- sakramen, terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat. Maka pertanyaannya menjadi semakin menjurus tajam: Sejauh mana paroki yang menginginkan pertumbuhan iman umat mengadakan Adorasi Sakramen Mahakudus? Adakah kapel adorasi di paroki? Sudahkah menggiatkan umat untuk mengikuti Misa harian di paroki maupun di Lingkungan? Sudahkah membuka kesempatan Pengakuan Dosa, sedapat mungkin setiap hari? Sudahkah menggiatkan doa rosario dan pendalaman Kitab Suci dalam keluarga? Tentunya, semua ini harus didasari oleh katekese yang baik kepada umat, sehingga umat dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia bagi kita semua melalui doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang bersumber pada Misteri Paska Kristus. Demikian juga, gejala ‘hit and run’ terjadi dalam keluarga dan sekolah. Lebih mudah bagi orang tua untuk mengirim anak-anak mengikuti retret daripada membuat komitmen untuk setiap malam membacakan Alkitab kepada anak- anak, karena hal ini menuntut pengorbanan orang tua dalam hal waktu dan tenaga. Demikian juga kondisi di sekolah, mengirim murid- murid untuk mengikuti program live-in ke desa- desa akan terasa lebih mudah dilaksanakan, daripada mengintegrasikan iman Katolik secara konsisten dalam setiap sendi kehidupan sekolah. Padahal, bukankah penerapan iman yang baik tidak semata dicapai dengan cara “hit and run“, melainkan harus terus menerus menjadi bagian dari kehidupan seseorang, atau mungkin lebih tepat, menjadi gaya hidup umat beriman? Dan untuk menjadi gaya hidup, tidak ada cara lain, kecuali bahwa nilai- nilai iman harus diterapkan secara konsisten dari mulai hal-hal terkecil sampai ke hal-hal besar, di berbagai sendi kehidupan, dan dimulai dari anak-anak sejak usia dini. Pernahkah kita berfikir, mengapa ada sebagian umat Katolik yang setelah mengikuti pelajaran agama selama satu tahun, namun pengetahuan Alkitabnya kurang dibandingkan dengan sebagian umat Kristen non Katolik yang tidak menjalani pelajaran agama namun langsung diterima di dalam jemaat? Melihat fakta ini, mungkin memang kualitas proses dan bahan katekese di Gereja Katolik secara umum kurang memadai. Sementara gereja Kristen non-Katolik giat melakukan proses pendidikan iman secara terus menerus dengan menerapkan komunitas basis/ cell-group, Gereja Katolik yang melakukan kegiatan katekese selama satu tahun itu kurang menindaklanjutinya dengan pembinaan iman yang bersifat terus menerus. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa ada paroki-paroki yang telah menjalankan pembinaan umatnya secara terus-menerus, namun adalah suatu tantangan agar semua paroki di tanah air juga dapat menerapkan hal serupa, agar semua umat Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman dan kekudusan, sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V: Panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus. 2. Pembinaan spiritualitas vs aktivitasBerapa sering kita mendengar diskusi yang seru untuk menyusun program dan aktivitas di dalam pertemuan dewan paroki harian maupun pertemuan besar dewan paroki pleno. Mereka merencanakan diadakannya seminar, pertemuan rutin, retret keluarga, dan segudang kegiatan lainnya. Program-program seperti ini adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa pada akhirnya semua kegiatan ini harus mempunyai satu tujuan, yaitu membawa umat Allah untuk bertumbuh dalam kekudusan, yang menuntun kita masuk ke dalam Kerajaan Surga? Dengan demikian, apakah program-program berikut ini pernah dipikirkan: Bagaimana agar umat dapat terdorong untuk mengaku dosa secara teratur misalnya sebulan sekali? Bagaimana agar umat dapat sesering mungkin berpartisipasi dalam Sakramen Ekaristi? Bagaimana agar umat giat dalam menggali Sabda Allah; dan bagaimana agar umat dapat bertumbuh dalam kasih, dll? 3. Preventif vs kuratifAda banyak orang tua yang mengeluh, mengapa anaknya menjadi sulit diatur. Para guru di sekolah mengeluh bahwa anak jaman sekarang sungguh sulit dididik. Tidak ketinggalan romo paroki mengeluh, umat sekarang senantiasa ingin dimanja dan dituruti kemauannya. Para orang tua bertanya mengapa anaknya melakukan kenakalan di luar kewajaran. Pihak sekolah bertanya-tanya mengapa anak-anak tidak mempunyai semangat belajar dan kurang bertanggungjawab serta menganggap iman Katolik hanya sebatas slogan belaka. Dan pihak paroki mempertanyakan mengapa umat seolah-olah lesu darah, kurang mau berpartisipasi dalam kehidupan menggereja, terjadi pertentangan antara satu seksi dengan seksi yang lain. Pada saat semua ini terjadi, maka yang dilakukan adalah mulai mencari jalan bagaimana mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Dengan perkataan lain, kegiatan-kegiatan lebih bersifat kuratif dan bukan preventif. Kegiatan banyak yang bersifat jangka pendek, namun kurang memikirkan strategi jangka panjang. 4. Dibangun di atas batu vs dibangun di atas pasirAda banyak contoh dari umat yang berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain, karena mereka tidak benar-benar mengetahui pengajaran Gereja Katolik dengan baik, seperti yang ditunjukan oleh contoh di atas. Dalam konteks ini, maka seseorang tidak boleh hanya menghafal doktrin, namun harus mengerti alasan di balik doktrin Gereja Katolik, yang dapat dijelaskan dengan prinsip tiga pilar kebenaran, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Namun, untuk mengajarkan hal ini kepada umat diperlukan pendekatan yang benar, dengan mempertimbangkan umur dan kondisi orang yang bersangkutan. Dengan mengerti alasan yang benar di balik pengajaran iman Katolik, maka seseorang tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran lain, yang mungkin bertentangan dengan iman Katolik. Hanya tahu dan hafal doktrin tanpa mengetahui alasannya secara mendalam adalah sama saja dengan membangun rumah di atas pasir (lih. Mt 7:26-27). Dia tidak dapat bertahan terhadap hujan dan angin pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik, karena tidak mempunyai pondasi yang kuat. Sebagai contoh, dalam buku “Ikutilah Aku” dari Pankat KAS, hal 131 dituliskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Maria, yaitu: 1) Maria Bunda Allah, 2) Maria tetap perawan, 3) Maria tanpa noda, 4) Maria diangkat ke Sorga. Penjelasan tersebut tidak salah, namun kurang lengkap, sehingga kurang membekali para calon baptis (katekumen) dengan pengertian yang baik. Empat hal di atas memang menjelaskan tentang empat dogma tentang Bunda Maria, namun kurang menjelaskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Bunda Maria. Apakah penghormatan kita kepada Maria diukur dari apakah kita percaya bahwa Maria diangkat ke Surga? Apakah umat Kristen non-Katolik dapat menerima penjelasan umat Katolik dengan empat alasan di atas? Mengapakah kurang ditekankan, bahwa kita menghormati Maria, karena Allah telah terlebih dahulu memilih dan menghormatinya? Mengapakah kurang diberitahukan dasar- dasar Alkitabiahnya yang menyatakan hal itu, dan bahwa Gereja sejak abad- abad awal juga telah menghormati Maria? 5. Isi vs caraSebenarnya isi dan cara bukanlah hal yang bertentangan, namun keduanya saling mendukung. Yang penting, pada akhirnya katekumen mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan rencana keselamatan Allah ((Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae, 30-31)). Dalam konteks pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di keluarga, para orang tua yang telah memikirkan tentang isi dan caranya sudah maju selangkah, karena ada sebagian orang tua Katolik yang mungkin bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Namun, dalam konteks paroki, seharusnya isi dan cara harus dipikirkan secara lebih serius, sehingga tercapai kualitas pembinaan iman yang baik, entah di tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa, termasuk pasangan yang akan menikah. Apakah kita pernah mendengar keluhan dari orang tua yang mengatakan bahwa di Bina Iman anak hanya banyak diajari mewarnai dan menggambar? Cara memang penting untuk mengajarkan iman Katolik, sehingga anak-anak dapat mengerti iman Katolik dengan baik. Namun, cara yang baik tanpa ditunjang isi yang berbobot tidaklah dapat dibenarkan. Dalam konteks katekese dewasa, kita dapat melihat bahwa materi yang ada sekarang, sebenarnya kurang memadai untuk memaparkan pokok-pokok iman Katolik secara menyeluruh. Hal ini dapat terlihat bahwa setelah pembinaan satu tahun, banyak umat masih belum memahami imannya dengan baik, sehingga dengan mudahnya mereka terbawa pada pengajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Ada yang mengusulkan bahwa cara katekese harus diperbaiki, entah dengan drama, dll. Namun, dari hasil pengamatan, sebetulnya cara-cara tersebut dapat menjadi bumerang, karena dapat mengambil waktu pengajaran yang memang jelas-jelas sangat minim. Sebagai contohnya, dalam kurikulum “Ikutilah Aku”, pembahasan tentang Trinitas (bab 34, hal. 100-102) hanya dilakukan satu sesi (sekitar 1-1,5 jam). Bagaimana seseorang dapat memahami esensi Trinitas dalam satu pertemuan yang harus ditambah dengan metode-metode yang dipandang menarik. Bagaimana dengan pendidikan iman Katolik di sekolah? Memang pendidikan iman Katolik di sekolah tetap harus memperhatikan cara, namun isi pengajaran juga harus diperhatikan. Memperhatikan cara lebih utama daripada isi adalah sama dengan terlalu memperhatikan kemasan dibandingkan dengan isi yang sebenarnya. General Catechetical Directorymenegaskan bahwa tidaklah cukup untuk membangkitkan pengalaman spiritual tanpa dibarengi dengan perjuangan untuk mengerti keseluruhan kebenaran akan rencana Allah ((lihat Congregation for the Clergy, Ad Normam Decreti, General Catechetical Directory, 38)) dengan cara mempersiapkan umat beriman untuk mengerti Kitab Suci dan Tradisi yang hidup dalam Gereja. ((Ibid., 24)) 6. Holistik vs sporadisSalah satu kekuatan dari Gereja Katolik adalah hirarki yang tersusun sangat rapi, baik di tingkat stasi, paroki, keuskupan, satu negara dan tingkat dunia. Menjadi suatu kekuatan yang begitu besar, kalau di banyak tingkat, terutama di tingkat keuskupan dan seluruh keuskupan di negara yang sama dapat menyediakan materi dan sumber yang benar-benar dapat membantu proses pendidikan iman Katolik sejak usia dini. Namun, sering dijumpai bahwa banyak dari antara guru bina iman, katekis merasa tidak mempunyai materi yang memadai. Perlu dipikirkan bagaimana menggali potensi yang ada di dalam Gereja Katolik, sehingga memungkinkan kita mempunyai bahan dan metode pengajaran iman Katolik yang dapat dijangkau oleh seluruh umat beriman dari berbagai tempat. Yang perlu dipikirkan adalah memberikan informasi selengkap mungkin, sehingga memungkinkan katekis untuk memilih bahan yang ada dan menerapkannya secara kreatif pada peserta yang mempunyai latar belakang, umur, budaya dan pendidikan yang berbeda. Kurangnya pendidikan iman anak sejak usia diniMari, kita melihat permasalahan dan tantangan ini secara lebih mendalam. Hal kurangnya pendidikan iman anak sejak usian dini terlihat tidak saja di rumah/ di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan, apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik. 1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluargaDewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall. Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ’
Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah, dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah, merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka, anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci? 2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolahPendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di sekolah- sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah- sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan sekolah- sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama sekali seminggu, dan diadakannya Misa Kudus bagi semua murid sebanyak sebulan sekali. Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang mempunyai hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai, sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius merosot. Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan koordinator kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik. 3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di parokiDi paroki, pendidikan iman Katolik pada anak- anak juga mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para pengajar/ katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak- anak se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/ katekis dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepada mereka. Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru- guru Bina Iman, evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan mereka untuk memperoleh bahan- bahan pengajaran (yang lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’ sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian, diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar, di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga. Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini untuk bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya. Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus, yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. bersambung…. Penulis: STEFANUS-INGRID (www.katolisitas.org) |