Berapa lama siti khadijah menemani rasulullah

Jakarta -

Siti Khadijah radiallahu 'anha, istri tercinta Rasulullah SAW disebut dalam sejumlah Sirah Nabawiyah wafat pada bulan Ramadhan tahun ke-10 kenabian. Lebih detail Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliky Al Hasan dalam Kitab Al-Busyro fi manaqib sayyidati khodijah Al Kubro menulis sang Ummul Mukminin itu berpulang pada hari ke-11 bulan Ramadhan.

Beberapa saat sebelum meninggal, perempuan pertama yang mengakui kenabian Muhammad SAW itu menyampaikan permintaan terakhirnya. "Ya Rasulullah Aku memohon maaf kepadamu, jika selama menjadi istrimu aku belum berbakti kepadamu," kata Khadijah seperti dikutip Tim Hikmah detikcom dari Kitab Al-Busyro fi manaqib sayyidati khodijah Al Kubro halaman 16.

Mendengar perkataan sang istri, Rasulullah menjawab, "Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya."

Kepada Rasulullah SAW, Khadijah kemudian mengatakan bahwa dia sudah tak punya apa-apalagi untuk mendukung perjuangan Islam. Seluruh hartanya telah habis. Sementara perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan Islam belumlah selesai.

"Wahai Rasulullah seandainya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit atau jembatan, maka galilah lubang kuburku jadikanlah sebagai jembatan untuk kau menyeberangi sungai itu supaya engkau bisa melanjutkan dakwahmu," kata Khadijah, dikutip dari Buku, 'The Perfect Istri Salehah karya Tim Happy Wife Happy Life.

Ucapan Siti Khadijah itu kian membuat hati Rasulullah SAW sang penghulu Rasul itu bersedih. Khadijah kemudian memanggil putrinya, Fatimah Az Zahra.

Dia minta Fatimah agar memintakan sorban Rasulullah untuk dijadikan kain kaffan. Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, "Mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?"

Padahal, kata Rasulullah, Khadijah telah mengorbankan semua hartanya untuk perjuangan syiar Islam. Semua umat Islam waktu itu ikut menikmati. Bahkan semua pakaian kaum muslim ketika itu kebanyakan juga dari Khadijah.

Saat itu Khadijah memang salah satu orang terkaya di Kota Mekah. Bahkan disebutkan dua pertiga kekayaan Kota Mekah adalah milik Khadijah. Namun justru di akhir hayatnya, Khadijah tak memiliki harta sedikit pun, baju yang dia kenakan penuh tambalan. Disebutkan ada sekitar 83 tambalan.

Bahkan menjelang wafat, Khadijah pun tak punya selembar kain untuk digunakan sebagai kaffan. Sehingga dia merasa perlu meminta kain sorban yang dikenakan Rasulullah SAW. Sorban itu lah yang kerap dipakai Rasulullah saat menerima wahyu dari Allah SWT.

Mendengar permintaan terakhir Khadijah, Rasulullah menjawab,"Wahai Khadijah, Allah SWT menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga."

Siti Khadijah wafat di pangkuan Rasulullah SAW. Sang Ummul Mukminin itu meninggal dunia saat berusia 65 tahun. Rasulullah SAW bersama Khadijah dikarunia enam orang anak yakni Abdullah, Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Fatimah Az-Zahra, dan Ummi Kalsum.

(erd/erd)

Ilustrasi Nabi Muhammad Foto: NU Online

Pertemuan antara Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah berawal ketika Nabi pergi berdagang ke Negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadijah. Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang sangat kaya raya dan memiliki nasab baik. Nabi Muhammad dikenal sosok yang jujur, amanah dan berakhlak mulia menjadikan Khadijah mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan barang dagangan miliknya ke Negeri Syam. Nabi menerima tawaran itu dan berangkat ke Syam didampingi oleh pembantu kepercayaan Khadijah bernama Maisarah.

Kecintaan Khadijah untuk menikahi Nabi Muhammad bermula ketika nabi pulang dari Syam. Khadijah melihat keamanahan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad terhadap keberkahan atas hasil dagangannya dan ditambah lagi informasi dari Maisarah tentang budi pekerti, kejeniusan, kejujuran, dan keamanahannya. Kemudian secara fisik Nabi Muhammad merupakan pemuda yang sangat tampan dan masih muda. Hal inilah menjadikan alasan Khadijah ingin menikahi Nabi Muhammad, padahal banyak kaum bangsawan dan pembesar Quraisy sangat berkeinginan untuk melamar Khadijah tetapi semuanya ditolak.

Pernikahan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah tidak terlepas dari peranan Nafisah binti Munyah. Khadijah ketika mengutarakan perasaannya kepada Nabi Muhammad memutuskan untuk curhat dengannya. Khadijah yang merasa minder terhadap Nabi karena beliau seorang janda yang pernah menikah dua kali. Pertama dengan Atiq bin A’idz at Tamimi dan yang kedua dengan Abu Halah at-Tamimi. Kemudian juga perbedaan umurnya yang sangat mencolok yaitu selisih 15 tahun. Khadijah berumur 40 tahun dan pernah menikah dua kali, sementara Nabi Muhammad 25 tahun dan masih perjaka. Nafisah berhasil meyakinkan cinta Khadijah. Nafisah beranggapan bahwa Khadijah layak menjadi istri Nabi walaupun secara usia, Khadijah memang 40 tahun akan tetapi ia masih terlihat muda dan kuat. Selain itu, Khadijah memiliki nasab yang baik dan juga pedagang yang sangat kaya raya dan dihormati di Kota Mekah.

Peranan Nafisah dalam menyampaikan lamaran Khadijah ke Nabi Muhammad sangat cerdik. Nafisah menyampaikan cinta Khadijah kepada Nabi Muhammad dan tidak memintanya untuk menjawab secara langsung itu saja. Nabi diberikan waktu untuk memikirkannya. Jadi Nafisah merupakan salah satu kunci pernikahan antara Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah.

Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah kemudian berdiskusi dengan keluarga besarnya dan menindaklanjuti dari apa yang disampaikan oleh Nafisah. Nabi Muhammad beserta paman-pamannya kemudian menemui paman Sayyidah Khadijah bernama Amr bin As’ad dan mengajukan lamaran untuk mempersunting Sayyidah Khadijah melalui pamannya yang sebagai juru bicara yaitu Abu Thalib.

Abu Thalib menyampaikan khutbah lamaran pernikahan yaitu “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita anak keturunan Ibrahim, hasil tumbuhan Ismail, dan berasal usul dari Ma'ad, serta unsur kejadian dari Mudhar. (Segala puji bagi-Nya) yang menjadikan kami pemelihara rumah-Nya, pengelola tanah suci-Nya, dan menganugerahi kita rumah (Ka'bah) yang dikunjungi, wilayah yang aman, dan menjadikan kita penguasa-penguasa atas manusia. Selanjutnya, anak saudaraku ini, Muhammad, adalah dia yang tidak diukur seorang pemuda pun dari Quraisy, kecuali dia mengunggulinya dalam kemuliaan, keluhuran, keutamaan, dan akal. Kendati dalam hal harta dia memiliki sedikit, tetapi harta adalah bayangan yang hilang dan pinjaman yang harus dikembalikan. Muhammad adalah siapa yang hadirin telah kenal keluarganya. Dia melamar Khadijah putri Khuwailid, dan bersedia memberi mahar dari harta milikku yang jumlahnya secara tunda sekian dan kontan sekian. Di samping itu, dia, demi Allah, sungguh bakal menjadi berita penting dan peristiwa agung.

Khutbah Abu Thalib kemudian dibalas oleh Amr bin As’ad dengan singkat yaitu "Ini adalah unta jantan yang tidak dipotong (ditandai) hidungnya". Kalimat Amr bin As’ad merupakan sebuah perumpamaan. Di dalam masyarakat Arab, unta yang memiliki keturunan yang baik tidak dipotong atau ditandai hidungnya, tetapi diberi kebebasan untuk mendekati unta betina untuk melanjutkan keturunannya. Kemudian jika unta tersebut dari keturunan yang buruk, maka ditandai hidungnya dan dijauhkan dari unta yang betina agar tidak menghasilkan keturunan yang buruk.

Kemudian ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa yang menyambut khutbah Abu Thalib adalah Waraqah bin Naufal. Waraqah menjawab "Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita sebagaimana yang anda sebut-sebut. Kita adalah pemuka-pemuka masyarakat Arab dn pemimpin-pemimpinnya. Saudara-saudara wajar untuk kemulian itu, keluarga besar pun tidak mengingkari keutamaan saudara-saudara, tidak juga seorang pun bisa menapik kebanggaan dan kemuliaan saudara-saudara. Kami senang menjalin hubungan dengan saudara-saudara dan menghubungkan (diri) dengan kemuliaan saudara-saudara. Maka bersaksilah atasku wahai masyarakat Quraisy bahwa sesungguhnya aku telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin Abdullah, dengan mahar empat ratus dinar".

Khutbah Waraqah kemudian dibalas oleh Abu Thalib dengan mengucapkan "Aku suka bila pamannya ikut serta denganmu (yakni dalam mengawinkan ini)". Kemudian Paman Sayyidah Khadijah yaitu Amr bin As’ad berkata di depan beberapa pemuka Suku Quraisy "bersaksilah atasku, bahwa aku telah menikahkan Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid". Dengan demikian Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah resmi menikah.

Pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah merupakan perkawinan secara islami sebelum Nabi memperoleh wahyu pada usia 40 tahun. Pernikahan ini diawali dengan proses ta’aruf kemudian dilanjutkan khithbah atau peminangan. Sebelum dilaksanakan proses peminangan, Sayyidah Khadijah sendiri yang meminta kepada Nabi Muhammad untuk menikahi dirinya, walaupun melalui orang ketiga yaitu Nafisah binti Munyah. Kemudian pada tahap prosesi akad nikah dilakukan dengan pemberian mahar dan dinikahkan oleh seorang wali serta disaksikan oleh banyak orang. Dari situlah pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah secara tidak langsung sudah islami walaupun islam belum siar pada waktu itu.