Bagaimana proses penyelesaian kasus HAM berat di Indonesia?

Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Total Media, Yogjakarta, 2007

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi , Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Indonesian Center for Civic Education (ICCE), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008

Ahmad Kosasih , “ HAM dalam Perspektif Islam ; Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat”, Jakarta: Salemba Diniyyah, Edisi Pertama, 2003

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogjakarta, 2010

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial Pandangan Deontologis, Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2005

Eddy, O.S., Hiariej, “Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Jakarta: Erlangga 2010

Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum & Globalisasi, Genta Press, Yogjakarta, 2007

Hamid Awaluddin, “HAM Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional”, Jakarta: Buku Kompas, 2012

H.A.R, Tilaar ,Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogi Transformatif untuk Indonesia, PT Grasindo , Jakarta, 2002

Iman Santosa,” Hukum Pidana Internasional”,Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013

Max Boli Sabon, Hak Asasi Manusia Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi, Universitas Atma Jaya , 2014

Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, (Jakarta: Kencana Prenada Media, Cetakan ke-3, 2005

Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM), dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia,2006

Romli Atmasasmita, “Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung: Mandar Maju, 2001

R. Wiyono, “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006

Sacipto Rahardjo, “Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat, dalam Muladi, Hak Asasi Manusia , Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat”, Bandung: Refika Aditama, 2005

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama Grafiti, 2008

Syawal Abdulajid & Anshar, “Pertanggungjawaban Pidana Komando Militer Pada Pelanggaran Berat HAM” (Suatu Kajian Dalam Teori Pembaharuan Pidana), Yogjakarta: LaksBang PRESSindo

Suparman Marzuki, “ Robohnya Keadilan! Politik Hukum HAM Era Reformasi “, Yogjakarta: PUSHAM-UII, 2010

Zamroni, Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, Yogjakarta, BIGRAF Publishing, 2001

Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Proses penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu hingga kini masih menjadi perdebatan.

Organisasi masyarakat sipil yang menangani persoalan hak asasi manusia, korban dan keluarga sangat berharap penyelesaikan perkara itu diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Sementara pemerintah kembali mengupayakan di luar pengadilan (non Yudisial) untuk kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah tahun 2000.

Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab kepada VOA, Jumat (20/5) mengatakan sebagai gagasan, penyelesaian secara non-yudisial memang dikenal di dalam hukum hak asasi manusia, namun Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang mengatur terkait hal itu.

BACA JUGA: 24 Tahun Tragedi Mei 1998: Relawan Terus Perjuangkan Hak Korban Pemerkosaan

Apabila upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini tetap dilakukan di luar pengadilan maka perlu ada undang-undang baru atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo perihal hal tersebut.

“Non-yudisial itu tidak ada dasar hukumnya hingga hari ini. Nah kalau Pak Moeldoko mengusulkan hal itu, maka pilihannya buat undang-undang baru atau kebijakan dari presiden, tinggal itu pilihan kita. Tanpa itu, yang tersedia adalah pengadilan. Nah karena hari ini yang tersedia pengadilan ada baiknya juga pak Moeldoko meminta jaksa agung menindaklanjuti hasil penyelelidikan Komnas,” ujar Amiruddin.

Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan 13 kasus pelanggaran HAM ke Kejaksaan Agung. Ketiga belas kasus tersebut adalah :

1. Peristiwa pembantaian 1965-1966 pasca pemberontakan G30S/PKI1965

2. Penembakan Misterius tahun 1982-1985

3. Kasus Talangsari tahun 1989

4. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II di tahun 1998-1999.

5. Kerusuhan Mei 1998

6. Penghilangan Paksa tahun 1997-1998

7. Peristiwa Wasior tahun 2001

8. Peristiwa Wamena tahun 2003

9. Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998.

10. Insiden Simpang KKA, Aceh tahun 1999

11. Insiden Jambu Keupok, Aceh tahun 2003

12. Peristiwa Rumah Geudong di rentang waktu 1989-1998

13. Peristiwa di Painai, Papua, tahun 2004.

Namun hingga kini hasil penyelidikan tersebut belum ada yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Lembaga itu mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM belum menemukan alat bukti yang cukup. Selain itu, penyelidik juga belum memeriksa saksi kunci dan menemukan dokumen yang dapat menjelaskan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur serangan yang meluas atau sistematik.

KSP: Pemerintah Sedang Selesaikan Penyelesaian Non-Yudisial

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah saat ini sedang menyelesaikan draft kebijakan penyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan mekanisme non-yudisial.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko (foto: dok)

Menurutnya pemerintah tidak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas. Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum November 2000 akan diupayakan dengan penyelesaian melalui pendekatan non yudisial seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 maka perlunya dipikirkan pendekatan-pendekatan non yudisial. Untuk itulah saat ini pemerintah melalui Menkopolhukam telah menyusun KKR itu,”ungkap Moeldoko.

Kritik terhadap Penyelesaian Non-Yudisial

Pengacara Publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen mengungkapkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah tahun 2000 secara non yudisial (di luar pengadilan) bisa melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarganya.

“Kami menilai itu tetap harus secara yudicial (pengadilan) karena harus ada pengungkapan kebenaran. Baik pelaku ataupu korban dia butuh pengungkapan kebenaran. Korban harus tahu siapa pelakunya, apa alasan melakukannya sehingga pendekatannya melalui mekanisme yudisial,” tegas Teo Reffelsen.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Non Yudisial Langgengkan Impunitas

Menurut Teo, yang perlu dilakukan, Presiden Jokowi harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan melakukan permohonan maaf kepada korban dan keluarga serta seluruh warga negara secara terbuka serta melakukan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden lanjutnya, juga harus memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan terhadap perkara itu.

Komnas HAM dan Jaksa Agung diserukan segera menyerahkan hasil penyelidikan dan penyidikan ke DPR. Dan parlemen segera merekomendasikan atau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad-hoc atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. [fw/em]

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU 26/2000”), yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (“KKR”) yang Anda tanyakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (“UU 27/2004”).  Pasal 1 angka 3 UU 27/2004 menjelaskan sebagai berikut:

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

Adapun yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.[1]

KKR ini dibentuk untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu (sebelum berlakunya UU 26/2000) di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).[3]

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR yang kami sarikan dari wewenang KKR serta tugas dan wewenang subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dalam KKR adalah sebagai berikut;[4]

  1. Penerimaan pengaduan, pengumpulan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM yang berat dari korban atau pihak lain;

  2. Pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat;

  3. Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;

  4. Pemanggilan terhadap setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;

  5. Klarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

  6. Penentuan kategori dan jenis pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000;

  7. Pemutusan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.

Selain itu diatur pula mengenai penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti sebagai berikut:[5]

  1. Dalam hal KKR telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan;[6]

  2. Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti;[7]

  3. Rekomendasi permohonan amnesti, dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang KKR, disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan;[8]

  4. Presiden kemudian meminta pertimbangan amnesti kepada DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima;[9]

  5. DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima;[10]

  6. Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pertimbangan DPR diterima;[11]

  7. Keputusan Presiden kemudian disampaikan kembali kepada KKR dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal diputuskan,[12] dan KKR menyampaikan keputusan Presiden tersebut kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh KKR.[13]

Sebagai catatan, jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.[14] Penjelasan lebih lanjut mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dapat Anda simak dalam Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc.

Namun, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai KKR ini adalah bahwa UU 27/2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan sebagai berikut (hal. 130-131):

Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Dengan demikian, pada dasarnya KKR sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi, namun sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, hal ini tidak menutup adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi dengan cara lainnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006.

[1] Pasal 1 angka 2 UU 27/2004

[2] Pasal 3 huruf a jo. Penjelasan Umum UU 27/004

[3] Pasal 1 angka 9 UU 27/2004

[4] Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 7 ayat (1) UU 27/2004

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA