Bagaimana menguatkan perlindungan terhadap perempuan dalam konteks HAM?

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998, yang diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.

Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar pada tragedi kekerasan seksual yang terutama dialami oleh perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.

Komnas Perempuan tumbuh menjadi salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), sesuai dengan kriteria-kriteria umum yang dikembangkan dalam The Paris Principles. Kiprah aktif Komnas Perempuan menjadikan lembaga ini contoh berbagai pihak dalam mengembangkan dan meneguhkan mekanisme HAM untuk pemajuan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, nasional, kawasan, maupun internasional

LANDASAN KERANGKA KERJA KOMNAS PEREMPUAN:

  • Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  • Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam atau tidak Manusiawi (CAT)
  • Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, serta kebijakan-kebijakan lainnya tentang hak asasi manusia.

TUJUAN KOMNAS PEREMPUAN:

  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia;
  2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.

MANDAT DAN KEWENANGAN:

  1. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan, serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
  2. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan;
  3. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
  4. Memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif, serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan HAM penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan
  5. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan.

PERAN KOMNAS PEREMPUAN:

  • Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi pemenuhan hak perempuan korban;
  • Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan;
  • Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan;
  • Negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada pemenuhan tanggung jawab negara pada penegakan hak asasi manusia dan pada pemulihan hak-hak korban;
  • Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

VISI

Terwujudnya bangunan dan konsensus nasional untuk pembaruan pencegahan kekerasan tehadap perempuan, perlindungan perempuan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, dalam kerangka HAM yang peka gender dan lintas batas dengan kepemimpinan perempuan.


MISI

  1. Mendorong lahirnya kerangka kebijakan negara dan daya dukung organisasi masyarakat sipil dalam mengembangkan model sistem pemulihan yang komprehensif & inklusif bagi perempuan korban kekerasan;
  2. Membangun standard setting pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang akan digunakan oleh masyarakat, negara, dan korporasi;
  3. Memperkuat infrastruktur gerakan lintas batas untuk peningkatan kapasitas sumber daya gerakan dan penyikapan bersama, untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan;
  4. Meningkatkan dukungan negara dan masyarakat terhadap penguatan kepemimpinan perempuan di segala bidang, termasuk perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM;
  5. Memperkuat daya tanggap, daya pengaruh dan tata kelola Komnas Perempuan, sebagai bentuk akuntabilitas mekanisme HAM khususnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dalam upaya mendorong perlindungan dan pemajuan HAM perempuan.

NILAI DASAR

Dalam menjalankan organisasi dan kegiatannya, Komnas Perempuan berpegang pada tujuh (7) nilai dasar :

  1. kemanusiaan – bahwa setiap orang wajib dihargai sebagai manusia utuh yang memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa kecuali.
  2. kesetaraan dan keadilan jender – bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya adalah setara dan segala tatanan sosial, termasuk sistem dan budaya organisasi, yang sedang diupayakan terbangun seharusnyalah menjamin tidak terjadi diskriminasi dan penindasan berdasarkan asumsi-asumsi tentang ketimpangan peranantara laki-laki dan perempuan.
  3. keberagaman – bahwa perbedaan atas dasar suku, ras, agama, kepercayaan dan budaya merupakan suatu hal yang perlu dihormati, bahkan dibanggakan, dan bahwakeberagaman yang sebesar-besarnya merupakan kekuatan dari suatu komunitas atau organisasi jika dikelola dengan baik.
  4. solidaritas – bahwa kebersamaan antara pihak-pihak yang mempunyai visi dan misi yang sama, termasuk antara aktivis dankorban, antara tingkat lokal, nasional dan internasional, serta antara organisasidari latar belakang yang berbeda-beda, merupakan sesuatu yang perlu senantiasa diciptakan, dipelihara dan dikembangkan karena tak ada satu pun pihak dapat berhasil mencapai tujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur secara sendiri-sendiri.
  5. kemandirian – bahwa posisi yang mandiri tercapai jika ada kebebasan dan kondisi yang kondusif lainnya bagi lembaga untuk bertindak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan penegakan hak-hak asasi manusia bagi kaum perempuan tanpa tekanan dan kewajiban-kewajiban yang dapat menjauhkan lembaga dari visi dan misinya.
  6. akuntabilitas – bahwa transparansi dan pertanggungjawaban kepada konstituensi dan masyarakat luas merupakan kewajiban dari setiap institusi publik yang perlu dijalankan melalui mekanisme-mekanisme yang jelas.
  7. anti kekerasan dan anti diskriminasi – bahwa, dalam proses berorganisasi, bernegosiasi dan bekerja, tidak akan terjadi tindakan-tindakan yang mengandung unsure kekerasan ataupun diskriminasi terhadap pihak mana pun.


Page 2

Latuharhary – “Kita perlu agenda feminisasi politik atau feminisasi demokrasi. Bukan sekadar menambah kuota perempuan, tetapi kebijakan publik comply to (memihak,-red) hak-hak perempuan,” ungkap Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik saat menjadi penanggap dalam Diskusi Publik “Menguatkan Arah Kebijakan dan Strategi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 2022: Telaah pada Lampiran Pidato Presiden 2021” yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan secara daring , Selasa (24/8/2021).

Keterlibatan perempuan dalam demokrasi menjadi salah satu yang disinggung Taufan. Ia menyoroti  keterlibatan perempuan dalam demokrasi bukan hanya soal meningkatkan kuota perempuan (feminisasi politik). Hal terpenting, lanjut Taufan,  memastikan kebijakan patuh dengan norma hak asasi perempuan. 

Kebijakan dan strategi Pemerintah Republik Indonesia dalam agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan turut menjadi sorotan. Caranya, melalui pembentukan sistem perlindungan terhadap perempuan, yakni dengan melakukan audit legal dan audit kebijakan.

“Perlu dilakukan suatu audit kebijakan, peraturan atau kerangka hukum yang kita anggap justru tidak mendukung tujuan utama Komnas Perempuan, yaitu menciptakan situasi kondusif bagi tegaknya perlindungan hak-hak perempuan terutama yang terkait dengan kekerasan,” jelas Taufan.

Substansi peraturan yang ada, menurutnya, masih bersifat mendorong kekerasan dan praktik diskriminasi terhadap perempuan. Sebaliknya, audit legal juga dilakukan ke arah yang positif dengan mengkaji temuan-temuan terkait kerangka hukum yang positif memperkuat pembangunan sistem perlindungan terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan seksual maupun kekerasan jenis lain dan diskriminasi perempuan.

Penguatan tata kelola kelembagaan juga perlu difokuskan dengan membentuk sinergi antarlembaga sehingga efektif menjadi sistem perlindungan perempuan.  Terkait hal pengarusutamaan gender, Taufan menilai perlu adanya reorientasi kebijakan yang lebih berpihak kepada hak-hak perempuan demi mewujudkan sistem perlindungan yang lebih komprehensif baik di tingkat pusat maupun daerah. 

Harapan tersebut disambut oleh Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani sebagai sebuah jalan dalam  mewujudkan keadilan  dan penegakan hukum bagi penyelesaian kasus terkait perempuan. Salah satunya mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU KUHP.

“Memajukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah agenda pembangunan yang tidak dapat ditunda,” ujar Andy.

Terlebih lagi, data Komnas Perempuan 2020 menunjukkan adanya lonjakan tingkat pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan selama masa pandemi. Terdapat pengaduan langsung sebanyak 2.389 kasus, atau ada peningkatan 970 kasus (68%) dibanding tahun 2019 yang mencatat pengaduan sebanyak 1.419 kasus. 

Lonjakan pengaduan ini sangat signifikan jika dibandingkan rata-rata penambahan jumlah pengaduan pada lima tahun terakhir atau dalam rentang 2015 – 2019, yang mana hanya berkisar 14%. Pada satu semester 2021, angka pelaporan langsung ke Komnas Perempuan bahkan telah melampaui kasus yang diadukan  pada 2020, yaitu lebih 2.500 kasus. (AAP/IW)