Bagaimana jika uang terlalu banyak apakah harga naik

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.

Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:

  1. Bahan Makanan.
  2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
  3. Perumahan.
  4. Sandang.
  5. Kesehatan.
  6. Pendidikan dan Olahraga.
  7. Transportasi dan Komunikasi.

Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

  1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan ​inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
    • Interaksi permintaan-penawaran.
    • Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang.

    • Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
  2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non-inti terdiri dari:
    • Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
    • Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

    Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

    Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking.

    Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

    Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

    Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah. Keempat, pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan SSK (referensi).​

    Melalui amanat yang tercakup di Undang Undang tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Kestabilan nilai Rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang​ dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara lain.
     
    Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai oleh Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah. Dalam upaya pencapaian tujuannya, Bank Indonesia menyadari bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi perlu diselaraskan untuk mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan dalam jangka panjang.

    Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan agregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespons kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan dan bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

    Sementara itu, inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir. Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor penawaran dan kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

    Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi relatif terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar, seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008, sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.

    Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.

    Dalam tataran teknis, koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan kementerian teknis terkait di Pemerintah seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,  Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris kabinet, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008, pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

    Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.101/PMK.010/2021 tanggal 28 Juli 2021 tentang Sasaran Inflasi tahun 2022, tahun 2023, dan tahun 2024, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2022 – 2024, masing-masing sebesar 3,0%, 3,0%, dan 2,5%, dengan deviasi masing-masing ±1%.

    Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan, sehingga tingkat inflasi dapat dijaga pada tingkat yang rendah dan stabil. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Angka target atau sasaran inflasi dapat dilihat pada situs Bank Indonesia atau situs instansi Pemerintah lainnya seperti Kementerian Keuangan, Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut, dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah.

    ​​

    Apa yang terjadi jika jumlah uang beredar terlalu banyak?

    Banyaknya uang yang beredar di suatu negara akan memunculkan inflasi. Pengertian inflasi adalah kenaikan harga barang atau jasa, yang menyebabkan daya beli uang menurun. Jika pemerintah terlalu banyak mencetak uang maka harga produk akan semakin cepat naik.

    Jika uang yang beredar bertambah banyak maka harga barang akan mengalami apa?

    Jika jumlah barang tetap tetapi jumlah uang yang beredar lebih banyak, maka harga akan menjadi mahal. Jika hal tersebut terjadi secara terus menerus, maka itu dinamakan inflasi.

    Apa yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga?

    Kenaikan harga-harga (inflasi) ini disebabkan karena ketersediaan barang yang tidak sepadan dengan tingginya permintaan. Biasanya karena stok barang menipis dan permintaan sangat tinggi, maka stok barang tersedia mengalami kenaikan harga.

    Apa yang terjadi pada nilai mata uang saat inflasi naik?

    Sebagai indikator yang mencerminkan pola pengeluaran, angka inflasi yang meningkat mencerminkan kenaikan biaya hidup. Dengan kata lain, inflasi membuat nilai uang Anda susut sehingga daya beli Anda melemah.