Apakah harta wakaf boleh dijual jelaskan dengan singkat

Pendapat-pendapat para Ulama Mazhab mengenai permaslahan ini begitu banyak dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, sehingga begitu banyak menyita perhatian dibandingkan masalah-masalah fikih lainnya. Telah terjadi perbedan-perbedan pendapat yang begitu tajamnya di kalangan para Ulama Mazhab mengenai masalah penjualan harta wakaf ini. Di kalangan mereka ada yang melarang menjual harta wakaf sama sekali, ada pula yang membolehkan dalam kasus-kasus tertentu dan ada pula yang diam (Tawaqquf). Namun sebelum kita lebih jauh membahas tentang pendapat masingmasing Imam Mazhab tentang hal ini perlu kiranya kita memahami dua istilah yaitu ibdal dan istibdal. Ibdal adalah menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai penggantinya. Sedangkan istibdal adalah menjadikan barang lain sebagai pengganti barang barang wakaf asli yang telah dijual.

Menurut mazhab Imam Syafi’I dikenal lebih hati-hati jika dibanding ulama’ mazhab lain. Sehingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang Istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunan barang wakaf. Namun dengan sangat hati-hati, mereka tetap membahas maslah penggantian beberapa barang wakaf yang bergerak. Apabila kita melihat kitab-kitab Mazhab Syafi’i kita akan memenemukan bahwa pembahasan penggantian barang wakaf hanya berkisar seputar hewan ternak yang sakit, pohon kurma yang telah kering, atau batang pohon yang patah dan menimpa masjid sampai hancur, dimana manfan semua barang tersebut hilang sama sekali. Dan perbedan pendapat yang terjadi di antara Ulama Syafi’iyah pun hanya berkisar pada hal itu[1]. Salah satunya kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya. Barang tersebut harus dibiarkan diambil manfaatnya samapi habis.Salah satu Imam imam dalam Mazhab Syafi’i yaitu Imam Syairazi berpendapat “jika seseorang mewakafkan masjid yang menjadi rusak seiring berjalannya waktu, sehingga tidak bisa digunakan untuk shalat maka masjid itu tidak boleh dikembalikan kepada pemilik asalnya. Juga tidak boleh diperjualbelikan. Karena ia telah menjadi milik Allah SWT”. Namun apabila seseorang mewakafkan pohon kurma yang kemudian mati, hewan ternak yang kemudian sakit, atau masjid yang tertimpa patahan batang pohon hingga remuk, para ulama memberikan dua pandangan berbeda. Pertama barang-barang tersebut tetap tidak boleh dijual. Kedua barang-barang tersebut boleh dijual dengan pertimbangan karena tidak ada manfaat yang didapatkan jika tetap didiamkan dan akan lebih bermanfaat jika dilakukan penjualan.

Menurut mazhab Imam Maliki para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak Pendapat yang paling masyhur dikalangan fuqaha mazhab Maliki adalah memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak[2]. Imam Al-Khurasyi berkata “jika barang wakaf merupakan benda bergerak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi seperti pakaian yang rusak atau kuda yang sakit maka barang tersebut boleh dijual dan dibelikan barang sejenis yang bisa diambilmanfaatnya”. Bahkan dari kalangan mazhab Maliki ada yang melontarkan pendapat yang lebih ekstrim. Mereka menyatakan “ jika barang wakaf membutuhkan biaya perawatan yang seharusnya diambilkan dari Baitul Mal, sedangkan kas Baitul Mal kosong, maka barang tersebut harus dijual dan diganti dengan barang yang tidak membutuhkan biaya perawatan. Untuk mengganti barang barang wakaf yang bergerak, Ulama’ Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi. Namun sebaliknya kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih bisa digunakan.

Menurut mazhab Imam Ahmad Bin Hambal dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf tidak membedakan antara barang bergerak dan tidak bergerak. Bahkan, mereka mengambil dalil hukum penggantian benda tak bergerak dari dalil yang mereka gunakan untuk menentukan hukum penggantian benda bergerak[1]. Sebagai contoh mereka menganalogikan bolehnya mengganti barang wakaf selain Kuda, baik dari jenis benda bergerak maupun tak bergerak dengan mendasarkan pada ijma’ yang memperbolehkan penjualan kuda wakaf yang sudah tua dan tidak bisa digunakan untuk berperang kendatipun masih bisa digunakan untuk keperluan yang lainnya. Seperti mengangkut barang dan sejenisnya. Kalau penjualan Kuda Wakaf diperbolehkan. Kenapa menjual barang yang lain tidak diperbolehkan? Dalam pandangan mereka pada intinya menjual atau mengganti barang wakaf demi suatu maslahat adalah sama dengan menjaga barang wakaf tersebut. Meski bentuk penjagaannya tidak tertuju pada jenis atau bentuk barang wakaf yang asli. Jika barang wakaf rusak dan tidak menghasilkan apa pun. Maka barang tersebut boleh dijual dan uangnya digunakan untuk membelikan barang lain sebagai penggantinya. Kita dapat menyaksikan bahwa upaya ulama Hanabilah untuk melepaskan diri dari kekakuan kehati-hatian yang berlebih. Mereka mempermudah izin penjualan barang wakaf yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dengan membeli barang lain sebagai gantinya. Sikap mereka ini terlihat lebih luwes dari pada ulama Syafi’iyah atau Malikiyah.

Menurut mazhab Imam Hanafi, Mazhab Hanafi sangat menjunjung tinggi sikap toleransi dan keleluasaan. Sehingga dalam perspektif Mazhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal (penggantian) adalah boleh, selama itu menitikberatkan pada maslahat atau aspek kemanfaatan yang terdapat dalam pendapat ini. Menurut mereka ibdal (penukaran) dan istibdal (penggantian) boleh dilakukan oleh siapa saja baik waqif sendiri, orang lain maupun hakim tanpa melihat jenis barang yang diwakafkan apakah barang bergerak ataukah barang tidak bergerak[2].Ulama mazhab Hanafiyah mengklasifikasikan ibdal (penukaran) dan istibdal (penggantian) dalam tiga kategori anatara lain :

  1. Ibdal (penukaran) disyaratkan oleh waqif
  2. Ibdal (penukaran) tidak disyaratkan oleh waqif . baik ia memang tidak menyinggungnya sama sekali atau jelas-jelas melarangnya. Sedangkan di sisi lain kondisi mauquf sudah tidak bisa difungsikan dan dimanfaatkan lagi.
  3. Ibdal (penukaran) tidak disyaratkan oleh waqif. sedangkan mauquf masih dalam keadaan terurus dan berfungsi, tetapi ada barang pengganti yang dalam kondisi menjanjikan.

Sejumlah ulama Hanafiyah yang membolehkan penggantian barang wakaf

namun dengan beberapa syarat di antaranya :

  1. Penjualan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penjualan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh siapapun baik oleh pengelola wakaf ataupun oleh hakim.
  2. Pengelola wakaf tidak boleh menjual barang wakaf kepada orang yang tidak diterima persaksiannya (fasiq) dan atau orang yang memberinya pinjaman utang. Sebab menjual kepada orang yang tidak diterima persaksiannya mengandung kemungkinan terjadinya unsure penipuan, sedangkan penjualan yang dilakukan kepada orang yang memberinya utang dikhawatirkan akan menghabiskan uang hasil penjualan sekaligus barang wakaf, yang akan mengakibatkan pengelola wakaf tidak dapat melunasi hutangnya. 
  3. Barang pengganti merupakan barang tidak bergerak (‘iqar). Karena jika menggunakan barang bergerak dikhawatirkan pengelola wakaf akan menghabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa memberi gantinya.
  1. Penjualan tidak boleh mengandung unsur penipuan, penjualan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh siapapun baik oleh pengelola wakaf ataupun oleh hakim.
  2. Pengelola wakaf tidak boleh menjual barang wakaf kepada orang yang tidak diterima persaksiannya (fasiq) dan atau orang yang memberinya pinjaman utang. Sebab menjual kepada orang yang tidak diterima persaksiannya mengandung kemungkinan terjadinya unsure penipuan, sedangkan penjualan yang dilakukan kepada orang yang memberinya utang dikhawatirkan akan menghabiskan uang hasil penjualan sekaligus barang wakaf, yang akan mengakibatkan pengelola wakaf tidak dapat melunasi hutangnya. 
  3. Barang pengganti merupakan barang tidak bergerak (‘iqar). Karena jika menggunakan barang bergerak dikhawatirkan pengelola wakaf akan menghabiskannya untuk kepentingan pribadi tanpa memberi gantinya.
  4. Jika penggantian atau penukaran barang wakaf berupa rumah dengan rumah yang lainnya maka hanya boleh dilakukan jika berada dalam satu wilayah.

[2] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf…., hal. 349

[2] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf…., hal. 366

[1] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf (Jakarta: IIMaN,2004), hal. 372

[1] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf…., hal. 375

Apakah harta wakaf boleh dijual jelaskan dengan singkat

Apakah harta wakaf boleh dijual jelaskan dengan singkat
Lihat Foto

KOMPAS.com/RAJA UMAR

Warga menunjukkan sertifikat tanah wakaf yang diserahkan Presiden Jokowi secara simbolis untuk masjid, menasah, dan pesantren yang ada di Provinsi Aceh, Jumat (14/12/2018).

JAKARTA, KOMPAS.com - Bagi masyarakat Indonesia, tentu sudah tak asing lagi tanah wakaf. Tanah wakaf sering kali digunakan untuk kepentingan umum, seperti tanah pekuburan, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan. 

Tanah wakaf adalah bagian dari harta wakaf yang diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Lalu, apa itu wakaf dan kenapa dilarang diperjualbelilkan (apa itu tanah wakaf)?

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab wakafa yang berarti menahan, berhenti, diam, atau tidak berpindah (status). Dalam hukum Islam, wakaf artinya harta wakaf seperti tanah yang sudah diwakafkan pemiliknya dilarang dipindah tangan dalam bentuk apa pun. 

Di dalam aturan hukum Indonesia, tanah wakaf sudah diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Regulasi lain terkait tanah wakaf yakni Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Baca juga: Mengenal Kepemilikan Tanah HGU dan Aturan Hukumnya

Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Wakif adalah sebutan untuk pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Sementara nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Harta benda yang diserahkan wakif ke nazhir harus berdasarkan akad yang dikenal dengan ikrar wakaf yang artinya pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

Akad ini kemudian dituangkan dalam perjanjian hitam di atas putih di depan dua orang saksi dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yakni pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk membuat akta ikrar wakaf.

Baca juga: Mengenal Eigendom, Bukti Kepemilikan Tanah Warisan Belanda

Setelah seorang wakif menyerahkan hartanya untuk diwakafkan lewat ikrar, maka secara hukum wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Dalam aturan wakaf, harga benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang, serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.