Apa yang terjadi apabila masyarakat desa Banuroja tidak mau menerima perbedaan perbedaan tersebut

Dok. Wikipedia Ilustrasi Pancasila

DARI Soekarno, seorang pendiri bangsa sekaligus presiden pertama Indonesia, kita belajar bahwa Pancasila sebagai dasar negara yang memiliki kekuatan untuk mempersatukan itu berakar kuat di dalam setiap pengalaman manusia Indonesia. Di dalam Pantja Sila Dasar Negara (Departemen Penerangan RI, 1959), Soekarno menyebut bahwa Pancasila tidak diekstrak dari alam pikiran Eropa atau Afrika, melainkan dibangun berdasarkan prinsip “jiwa” masyarakat Indonesia. 

“Jiwa” yang dimaksud Soekarno adalah worldview atau pandangan dunia masyarakat Indonesia yang majemuk, namun saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Prinsip negara yang kita yakini sampai dengan saat ini, telah sejak lama in concordantie (berhubungan) dan berakar kuat di dalam memori masyarakat Indonesia. Itulah sebabnya Soekarno lalu menyebut bahwa Pancasila “[adalah] semua untuk semua.”

Meskipun demikian, dalam perkembangannya, Pancasila sebagai sebuah dasar negara seringkali ditafsirkan jauh dari pada ilustrasi Soekarno. Kita bahkan belajar bahwa tafsir terhadap Pancasila pernah digunakan sebagai alat untuk mengokohkan tirani yang subversif, kaku, dan mengekang selama Orde Baru.  Era Reformasi pun tidak jauh berbeda. Negara merasa harus menginstal Pancasila di dalam otak manusia melalui berbagai macam program yang, pada akhirnya membelah lanskap kultur masyarakat yang sangat majemuk dan mengarusutamakan Pancasila dalam satu tafsir tunggal dan pendekatan aparatus. Manusia Indonesia dianggap semacam robot yang bisa diinstal ideologi dalam sepersekian waktu.  Padahal, manusia Indonesia dengan segala dinamikanya dan polemiknya tak mungkin bisa diseragamkan dalam memahami dasar negara. Artinya, dalam rentang sejarah selama beberapa dekade ini, Pancasila telah mengalami tolak-tarik interpretasi oleh berbagai golongan dari sisi-sisi yang berseberangan dalam satu spektrum politik dan coba dipaksakan.

Benar bahwa Pancasila adalah dasar negara, sebuah philosophische grondslag—sebuah fondasi filosofis. Namun keberadaan Pancasila di tengah-tengah masyarakat kita, bukan untuk dipaksakan, namun untuk dipahami dan dimaknai. 

Dan karena ia merupakan “dasar” dan “fasafah” itulah, Pancasila bisa menjadi sebuah “jiwa” kolektif hanya jika ia dilihat di dalam praktik sesuai dengan lanskap kultur masyarakat Indonesia yang beragam. Salah satu kultur itu misalnya, timbul di dalam laku-hidup masyarakat Desa Banuroja, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. 

Di Banuroja, Pancasila tidak saja diucapkan dalam setiap helatan akbar, namun juga dipraktikkan. Pancasila menjadi semacam “aksi yang hidup” (living action) yang terus menerus diproduksi di dalam kehidupan masyarakat. 

Ini dibuktikan dengan akurnya desa tersebut sejak pertama kali terbentuk pada tahun 1981, ketika masyarakat transmigran dari Bali, Nusa Tenggara, Jawa dan Gorontalo (akrnonim dari Banuroja)—sebagai pribumi—saling berinteraksi, mengisi, dan mengupayakan kehidupan yang akur sampai dengan saat ini. 

Banuroja Sebagai Antitesis


Biasanya, semakin plural sebuah komunitas masyarakat, maka perilaku intoleran akan semakin menguat. Argumen ini pernah diajukan masing-masing oleh Harvey Whitehouse,  direktur Institut Anthropologi Kognitif dan Evolusi dari Magdalene College, Inggris dan Barbara Muzzulini, psikolog kognitif dari Universita Oxford, Inggris. 

Tetapi alih-alih keberagaman yang menurut Whitehouse dan Muzzulini dapat memicu perilaku intoleran, Banuroja justru hadir sebagai antitesis.

Bagi Whitehouse, perbedaan di dalam agama atau etnis akan memicu perilaku intoleran sebab gagasan “Tuhan dan moral” dapat menjadi alat yang mendorong manusia berperilaku keras dan intoleran kepada orang lain. Sedangkan bagi Muzzulini, intoleransi muncul karena adanya hubungan personal seseorang di dalam kelompoknya yang kemudian membentuk sebuah fusi identitas. Proses yang lahir dari fusi ini lantas menciptakan pemahaman agama atau moral yang berlaku di kelompoknya sebagai satu-satunya yang benar dan lainnya hanyalah sebuah ilusi atau ketidakbenaran. Namun kedua tesis ini terbantahkan di Banuroja yang, jika ditelisik keberagaman masyarakatnya, kita akan menemukan sesuatu yang sangat kaya. Banuroja berkarakter heterogen. Dari total keseluruhan 1.146 jiwa, terdapat beberapa etnik di antaranya: Bali (459 jiwa), Lombok (300 jiwa), Jawa (293 jiwa), Minahasa (28 jiwa), Flores (3 jiwa), Toraja (2 jiwa), Batak (11 jiwa), Bugis (8 jiwa), Ambon (10 jiwa), dan Sangihe (3 jiwa).  Banuroja juga dihuni oleh masyarakat yang memiliki keragaman religiusitas seperti Islam, Hindu, dan Kristen. Tetapi alih-alih keberagaman yang menurut Whitehouse dan Muzzulini dapat memicu perilaku intoleran, Banuroja justru hadir sebagai antitesis.  Tercatat selama 30 tahun berdiri, tak pernah ada satu pun konflik horizontal atau kriminalitas yang terjadi di antara umat beragama, adat dan etnis di Banuroja—sebagaimana terjadi di beberapa tempat di Indonesia misalnya Ambon, Poso, Kalimantan, dan Papua. Sebaliknya, Banuroja justru menghadirkan kehidupan yang beragam dan saling menghidupkan lewat keberagaman yang ada. Kami, Universitas Negeri Gorontalo, lantas mencatat bahwa, kekuatan Banuroja terdapat pada lapisan-lapisan benteng kultural yang kuat. Pada lapisan inti, budaya dan praktik sosial-ekonomi menjadi antibodi dari praktik intoleran. 

Budaya gotong royong antaretnis dan agama menjadi fondasi dasar dalam ketahanan kultural dan menciptakan keadilan distributif. Dalam kaidah Gorontalo, keadilan distributif itu bisa disebut dengan Olohiyo Butuhiyo. 

Olohiyo butuhiyo ini menciptakan keadilan komutatif dalam menyelesaikan sengketa sosial-ekonomi. Pada lapisan berikutnya, ketokohan menjadi jembatan yang menghubungkan komunikasi antaretnis dan agama yang ada di Banuroja.

Pemuka-pemuka agama dan kepala suku memiliki tingkat toleransi yang tinggi, sehingga faktor keberadaan mereka bisa mereduksi ketegangan yang memungkinkan terjadi. Sedangkan pada lapisan paling atas, pemerintah daerah dan desa menjadi faktor penting dalam menjaga kerukunan. Pada kelembagaan desa, ada konsensus yang telah disepakati bahwa yang menjadi kepala desa akan bergantian dari setiap etnis dan agama pada tiap periode, sehingga faktor ketegangan dan kecemburuan politik bisa direduksi.  Keyakinan yang kuat dan lapisan ketahanan yang terstruktur dengan baik itulah yang menjadi modal sosial Banuroja dalam membangun desanya. Warga Banuroja mahfum betul bahwa perbedaan keyakinan akan memengaruhi kecenderungan toleransi atau intoleransi. Begitu pula dengan muatan kepentingan ekonomi, termasuk juga kepentingan politik, yang bertujuan memperoleh sumber daya ekonomi.  Kedua kemungkinan dan kecenderungan yang bisa memecah belah inilah yang dilapisi dan dibungkus dengan fakta integritas. Sedangkan perbedaan keyakinan atau etnik saja tidak signifikan pengaruhnya terhadap toleransi/intoleransi, namun perbedaan ini bisa menjadi instrument kuat untuk memobilisasi praktik intoleransi jika lapis ekonomi-politik tidak begitu kuat strukturnya. Dengan demikian, jika tesis “semakin plural semakin intoleran” menjadi semacam legitim; dalam sebuah entitas bernama Banuroja, “semakin plural akan semakin toleran”. 

Desa Pancasila Banuroja


Dengan memperhatikan berbagai fakta tentang “Pancasila yang hidup” (living Pancasila) tersebut, sejak bulan Januari 2020, kami dari Universitas Negeri Gorontalo, menginisasi Banuroja sebagai Desa Pancasila. Ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menjadikan Banuroja, sebagai role model dalam praktik toleransi di Indonesia. 

Banuroja sebagai role model keberpancasilaan Indonesia penting digaungkan dan disemai dalam rangka menghidupkan kembali Pancasila yang kini mulai luntur pemahamannya, khususnya di kalangan usia milenial. Pelembagaan Banuroja menjadi Desa Pancasila tentu saja juga, merupakan sebuah upaya manajemen stratejik kelembagaan yang diinisiasi oleh Universitas Negeri Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten Pohuwato. Tujuannya untuk meneguhkan nilai-nilai toleransi dan kerukunan yang penting untuk dirawat dalam rangka menjamin kehidupan keberagaman yang keberlanjutan. 

Tentu saja, Banuroja bukanlah desa pertama yang ditetapkan sebagai Desa Pancasila. Sebelum itu, di tahun 2012, kategori Desa Pancasila sudah pernah disematkan pada Desa Balun, Lamongan, Jawa Timur.  Merujuk pada beberapa literatur, diketahui bahwa Desa Balun merupakan nama desa yang diambil dari nama Mbah Alun (Raden Sin Arih) yang dihormati sebagai leluhur. Selain memiliki keragaman dalam hal agama (Islam, Hindu dan Kristen), Desa Balun memiliki kaitan erat dengan sejarah penyebaran Islam dan Hindu di Pulau Jawa.  Berbeda dengan agama Kristen masuk ke Balun pada tahun 1967 yang diperkenalkan oleh seorang penduduk asli Balun yang pada saat itu menjabat sebagai kepala desa. Dengan adanya kerukunan, toleransi, dan gotong royong dari masyarakat yang berbeda agama di Desa Balun, maka semua pihak bersepakat untuk menjadikan Desa Balun sebagai Desa Pancasila. 

Meski dari segi kerukunan, toleransi, dan hidup gotong-royong masyarakat memiliki kemiripan antara Banuroja dan Balun, namun pada konteks yang lain, Banuroja memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan. Hal tersebut karena Banuroja, membentuk heterogenitas masyarakatnya lewat migrasi masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia dalam rentang tahun 1980-2000. 

Apa yang hendak dijawab melalui program-program ini, tidak lain merupakan sebuah ikhtiar untuk meneroka kembali Pancasila yang hidup dan mengakar dalam unit terkecil di Indonesia, 

Pada konteks ini, Banuroja menggambarkan miniatur tatanan masyarakat Indonesia yang majemuk. Banuroja merepresentasikan “jiwa” manusia Indonesia yang sepanjang ingatan Soekarno, selalu disebut-sebut sebagai ilustrasi Pancasila.  Di sisi lain, terlepas dari persamaan dan perbedaan, pada proses pembangunan desa, Banuroja lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dari berbagai etnik dan agama, sehingga tidak ada istilah yang mendominasi dan didominasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial, maupun politik pemerintahan desa. Hal ini yang kemudian meminimalisir lahirnya politik identitas dan konflik kepentingan di Banuroja.

Sebuah Proyek Pilot

Komitmen Universitas Negeri Gorontalo juga tidak berhenti sampai di situ saja. Melalui kerja keras selama beberapa bulan belakangan, Banuroja lantas menjadi tempat dideklarasikannya salah satu program kawakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Gus Abdul Halim Iskandar, yakni Forum Pemuka Masyarakat Cinta Desa (Forpeace) pada hari Sabtu, 19 September 2020. Hal ini sebagai respon terhadap Hari Perdamaian Internasional tanggal 21 September, 2020. Kegiatan tersebut lantas juga dihadiri oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Boy Rafli Amar dan Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono, serta berbagai figur-figur penting daerah Gorontalo seperti Wakil Gubernur Gorontalo, Idris Rahim, Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga dan jajaran pemerintahan lainnya.  Forpeace sendiri merupakan sebuah proyek Kemendes PDTT yang diinisiasi agar dapat menjadi katalisator pencapaian poin ke 16 Sustainable Development Goals (SDGS) yang diekstrak ke dalam skala desa. Program ini  fokus untuk mereduksi segala macam bentuk kekerasan dan angka kematian, mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan serta segala macem bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. Fokus lainnya adalah mendukung perangkat hukum dan akses keadilan yang sama untuk semua, membangun institusi-institusi yang akuntabel dan transparan di semua level, hingga memastikan pengambilan keputusan yang responsif, inklusif, partisipatif dan representatif di semua level. 

Ada harapan besar dari Mendes bahwa Banuroja, ke depannya, dapat menjadi sebuah role model yang dapat direplikasi oleh desa-desa lain di Indonesia, khususnya dalam model tata kelola desa yang inklusif dan identifikasi dini terhadap segala potensi terjadinya kekerasan di level desa.

Komitmen bersama ini lantas memicu kami, Universitas Negeri Gorontalo, melalui Kelompok Kerja Desa (Pokja), untuk menciptakan Akademi Kerukunan (Akur) Desa. Akur Desa merupakan salah satu sub-kegiatan dari Forpeace yang berfokus untuk mempertemukan aktor-aktor desa, seperti pemuka agama, tokoh adat, perempuan, pemuda, aparat pemerintahan dan masyarakat, agar dapat berdialog dan merumuskan sebuah model “Desa Rukun” yang berbasis pada kearifan lokal.  Kami menginisiasi kegiatan ini, berangkat dari sebuah pemahaman bahwa konflik di desa, tentu saja tidak berdiri sendiri; melainkan merupakan sebuah kasus yang berkait-kelindan dengan persoalan lainnya, seperti ekonomi, politik, gender, dan isu-isu sosial lainnya. Sama halnya dengan Forpeace, Akur Desa hadir sebagai model yang kelak dapat direplikasi di tempat-tempat lain di Indonesia.  Apa yang hendak dijawab melalui program-program ini, tidak lain merupakan sebuah ikhtiar untuk meneroka kembali Pancasila yang hidup dan mengakar dalam unit terkecil di Indonesia, yakni desa. Dengan memodifikasi, memberikan target dan pencapaian, namun tidak sedang terburu-buru mengglorifikasi, Desa Pancasila, For Peace, dan Akur Desa, tidak lain bertujuan untuk membangun benteng-benteng kultural pertahanan di Indonesia.  Dalam arti yang lebih spesifik, komitmen ini dibangun berdasarkan fundamen untuk membumikan Pancasila, meresapi maknanya, dan menjadikan sila-silanya muncul dalam setiap laku-hidup masyarakat di desa yang memiliki konstruk kultural yang beragam, alih-alih melihatnya dalam satu tafsir tunggal yang cenderung memaksa. Sebab Pancasila, berdasarkan apa yang pernah diucapkan  Soekarno adalah “jiwa” yang berakar di dalam pengalaman eksperiensial manusia, maka ia, Pancasila, berlaku “semua untuk semua”![]

Eduart Wolok: Rektor Universitas Negeri Gorontalo

*Segala gagasan dan opini yang ada dalam kanal ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Medcom.ID. Redaksi menerima kiriman opini dari Anda melalui .

Editor : Syah Sabur

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA