Apa yang dimaksud dengan shalat di dalam kendaraan?

Salah satu syarat sah sholat adalah menghadap kiblat. Ketentuan ini berlaku untuk berbagai keadaan, termasuk ketika sedang dalam kendaraan.

Perintah untuk sholat menghadap kiblat ini disebutkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari Khallad bin Rafi'.

إِذا قمتَ إِلى الصلاة فأسبغ الوضوء، ثمَّ استقبِل القبلة فكبِّر

Artinya: "Jika kamu hendak sholat sempurnakanlah wudhu kemudian menghadaplah ke arah kiblat." (HR. Muslim. Bukhari juga meriwayatkan hal serupa.).

Baca juga: Bacaan Salat Lengkap dari Niat sampai Salam

Dalam surah Al Baqarah ayat 144 Allah SWT berfirman:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ - ١١٥

Artinya: "Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui."

Khalilurrahman Al-Mahfani dan Abdurrahim Hamdi dalam Kitab Lengkap Panduan Shalat menjelaskan, menghadap kiblat dalam sholat berarti menghadap Ka'bah yang terletak di Makkah. Apabila tidak melihatnya, maka harus menghadap ke arah Ka'bah tersebut.

Orang yang sedang safar (bepergian) menggunakan kendaraan mengalami situasi yang berbeda dalam melaksanakan sholat khususnya dalam menentukan arah kiblat. Sebab, kendaraan tersebut berjalan sesuai arah jalan yang dituju. Lantas, bagaimana arah kiblatnya?

Arah Kiblat Sholat dalam Kendaraan

Ketentuan mengenai arah kiblat ketika seseorang dalam perjalanan menggunakan kendaraan dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat yang berasal dari Ibnu Umar RA.

"Sewaktu orang-orang berada di Kuba' melakukan sholat subuh, tiba-tiba datanglah seseorang mengatakan, 'Pada malam tadi Nabi SAW menerima wahyu yang menyuruh menghadap Ka'bah, maka menghadaplah ke sana, ketika itu muka mereka menghadap ke Syam, maka mereka pun menghadap Ka'bah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Merujuk pada hadits tersebut, orang yang sholat dalam kendaraan seperti pesawat, perahu, dan lain-lain, maka arah kiblatnya menghadap mengikuti arah kendaraan tersebut.

Baca juga: 4 Cara Menentukan Arah Kiblat, Kamu Bisa Coba!

Tata Cara sholat dalam Kendaraan

Mengutip buku Pendidikan Agama Islam: Fikih untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII oleh Zainal Muttaqin, sholat dalam kendaraan dapat dilakukan dengan duduk di atas kendaraannya apabila tidak memungkinkan untuk berdiri.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:

"Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabatnya, 'Bagaimana cara saya sholat di atas perahu (kapal)?" Beliau bersabda, 'sholatlah di dalam perahu itu dengan berdiri, kecuali kalau kamu takut tenggelam." (HR. Ad-Daruquthni).

Adapun, cara bersuci bagi orang yang sholat dalam kendaraan apabila memungkinkan untuk berwudhu, maka ia harus berwudhu. Ia boleh tayamum ketika tidak kesulitan untuk mendapatkan air untuk wudhu.

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah ketika kebutuhan untuk menjalani ibadah shalat berbenturan dengan kondisi dirinya yang sedang berada di atas sebuah kendaraan dalam sebuah perjalanan, sementara untuk turun dari kendaraan terkadang juga mengalami kendala-kendala tertentu, sehingga mau tidak mau shalat dilakukan di atas kendaraan.


Lalu bagaimana para ulama menentukan aturan main untuk melakukan shalat di atas kendaraan?


Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menuturkan:


يجوز للْمُسَافِر التنقل رَاكِبًا وماشياً إِلَى جِهَة مقْصده فِي السّفر الطَّوِيل والقصير على الْمَذْهَب


Artinya: “Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Damaskus: Darul Basyair], 2001, juz I, hal. 125)


Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits:


عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ


Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)


Dari penjelasan dan hadits di atas dapat diambil satu pelajaran bahwa pada dasarnya shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja. Ini bisa dipahami dari hadits di atas bahwa ketika Rasulullah akan melakukan shalat fardlu maka beliau akan turun dari untanya. Itu artinya ketika beliau melakukan shalat di atas unta yang beliau lakukan adalah shalat sunah, bukan shalat fardlu.


Juga dipahami bahwa ketika seseorang melakukan shalat sunah di atas kendaraan maka diperbolehkan baginya untuk tidak menghadap ke arah kiblat sebagaimana Rasulullah juga melakukannya. Beliau menghadap ke arah manapun unta yang ditumpanginya menghadap. Pun orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan juga diperbolehkan melakukannya tidak dengan berdiri, bisa dengan duduk meskipun keadaan memungkinkan untuk melakukannya dengan berdiri. Mengapa demikian? Karena kewajiban shalat sambil berdiri itu hanya berlaku untuk shalat fardlu saja. Untuk shalat sunah orang yang tidak sedang sakit sekalipun diperbolehkan melakukannya dengan duduk.


Lalu bagaimana dengan shalat wajib?


Masih berdasarkan hadits di atas, bahwa shalat wajib tidak bisa dilakukan di atas kendaraan kecuali bila dilakukan secara sempurna sebagaimana mestinya shalat itu dilakukan. Ini bisa dipahami dari kalimat bahwa Rasulullah turun dari untanya ketika hendak melakukan shalat fardlu. Turunnya Rasulullah dari kendaraan yang ditungganginya itu dimaksudkan agar beliau dapat melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’ dan sujud secara benar.


Rasulullah pernah memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas kapal laut ketika menuju ke negeri Habasyah dengan berdiri.


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا مَا لَمْ يَخْشَ الْغَرَقَ 


Artinya: “Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Ja'far bin Abi Thalib untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam.” (HR. Al-Bazzar)


Maka ketika seseorang dalam perjalanan dan hendak melakukan shalat fardlu sementara tidak mungkin dilakukan secara sempurna di atas kendaraan maka ia mesti turun dari kendaraannya. Ia mesti melakukan shalat fardlunya di atas tanah.


Namun demikian melihat realita di lapangan sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan shalat fardlu. Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah:


Pertama, bila yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan shalat fardlu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraannya.


Kedua, bila yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk shalat atau tidak.


Ketiga, bila yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan—untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali—untuk melakukan shalat fardlu di atasnya. Kiranya sulit shalat di atas bus sambil berdiri, ruku’, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat. Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan—semisal rumah makan—tepat pada waktunya shalat.


Bila terjadi kemungkinan yang ketiga, di mana penumpang benar-benar tidak bisa turun untuk shalat atau melakukan shalat secara sempurna di atas kendaraannya, maka satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan shalat sekadar untuk menghormati datangnya waktu shalat, karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan shalat ketika ia menemui datangnya waktu shalat. Shalat li hurmatil waqti ini dilakukan bagi orang yang tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan shalat secara sempurna, seperti tidak menemukan air dan debu untuk bersuci, dan tidak bisa menghadap kiblat, ruku’ dan sujud secara sempurna. Orang yang melakukan shalat li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna.


Imam Nawawi dalam kitab Majmû’ menuturkan:


قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ

Apakah yang dimaksud salat dalam kendaraan?

shalat dalam keadaan darurat adalah shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak normal, baik karena sakit maupun kondisi sekitar seperti di dalam kendaraan, seperti sabda Nabi SAW. tentang orang sedang sakit, jika kuasa seseorang shalatlah dengan berdiri, jika tidak kuasa shalatlah sambil duduk.

Apakah boleh shalat di dalam kendaraan?

Para ulama memperbolehkan umat muslim untuk sholat saat naik kendaraan. Hal ini mengacu sebuah hadist dari Jabir bin Abdillah r.a., "Rasulullah SAW melaksanakan sholat sunnah di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat" (HR. Bukhari 1094). Sholat di atas kendaraan ini termasuk pula sholat di dalam mobil.

Bagaimana sholat dalam kendaraan?

Adapun cara salat di kendaraan saat perjalanan jauh adalah sebagai berikut:.
Dengan posisi duduk di kursi kendaraan. ... .
Setelah itu, tangan bersedekap seperti layaknya salat sambil berdiri, kemudian membaca doa iftitah, surat Al Fatihah, dan surat pendek yang dikehendaki..

Bagaimana kiblat pada shalat ketika di kendaraan?

Arah Kiblat Sholat dalam Kendaraan Merujuk pada hadits tersebut, orang yang sholat dalam kendaraan seperti pesawat, perahu, dan lain-lain, maka arah kiblatnya menghadap mengikuti arah kendaraan tersebut.