Apa akibatnya jika tidak toleran dalam keberagaman agama

Oleh : itsram | | Source : ITS Online

Ilustrasi Keberagaman Agama dan Etnisitas (Sumber: freepik.com)

Kampus ITS, Opini – Indonesia dengan ragam budayanya menyimpan jutaan keunikan endemik di tiap sudutnya. Mulai dari ragam bahasa, budaya, hingga agama dan kepercayaan menjadikan Indonesia sebagai contoh bersatunya seluruh keberagaman dalam persatuan. Setidaknya begitulah mimpi yang tertuang dalam “Bhinneka Tunggal Ika” yang terikat pada kaki Sang Garuda. Namun, apakah praktik toleransi beragama di Indonesia sudah optimal?

Sudah menjadi rahasia umum jika kehidupan bermasyarakat di tengah keragaman Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada konflik yang mencuat akibat adanya sentimen antar golongan. Utopia kedamaian di tengah keberagaman yang dimimpikan Pancasila nampak semakin jauh untuk diraih jika melihat kondisi intoleransi antar agama di Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan enam agama resmi dan banyak kepercayaan lokal yang tersebar di penjuru wilayahnya. Populasi agama terbesar di Indonesia merupakan muslim dengan jumlah lebih dari 229 juta manusia yang setara dengan 13% populasi muslim dunia. Keragaman dan ketimpangan jumlah penganut agama ini seringkali menjadi penyebab konflik agama di Indonesia.

Kebebasan beragama sudah termaktub pada banyak pasal salah satunya Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya. Namun pada implementasinya, fakta yang kontras justru ditemukan di lapangan.

Laporan dari BBC News yang menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir terdapat setidaknya 200 gereja disegel dan ditolak warga. Tirto.id, salah satu portal berita daring juga menyebutkan hal serupa. Dalam publikasinya berjudul Kasus Intoleransi Terus Bersemi Saat Pandemi terdapat banyak praktek intoleransi pada umat minoritas selama masa pandemi.

Beberapa kasus yang teridentifikasi sepanjang 2020 adalah jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Serang Baru yang diganggu saat beribadah pada 13 September, sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta Bogor pada 20 September, umat Kristen di Desa Ngastemi dilarang beribadah oleh sekelompok orang pada 21 September, dan larangan beribadah terhadap jemaat Rumah Doa Gereja GSJA Kanaan di Kabupaten Nganjuk pada 2 Oktober.

Bukan hanya dilarang beribadah, terdapat pula kasus surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memberikan instruksi seluruh siswa SMA/SMK untuk wajib membaca buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Siauw. Meskipun akhirnya surat edaran tersebut dibatalkan satu hari setelahnya, kejadian ini menyulut emosi banyak pihak dan menjadi pemicu timbulnya pertanyaan tentang seberapa banyak kasus intoleransi yang tidak terekspos ke permukaan?

Ilustrasi Keragaman dan Keseteraan Umat Beragama (Sumber: comomag.com)

Jika ditarik ke belakang, kasus intoleransi agama bukan hal baru dan sudah menjadi pekerjaan rumah lama. Kasus-kasus perpecahan agama seperti konflik umat Kristen dan muslim di Poso pada akhir tahun 90-an, konflik Ambon pada 1999 yang diawali pemalakan pemuda muslim pada warga nasrani yang kemudian menyebar dan membakar amarah, konflik Tolikara yang terjadi karena umat Gereja Injil Indonesia menyerang umat Islam yang sedang shalat Idul Fitri di Markas Korem di Tolikara dan aparat keamanan tidak berdaya menghadapi massa Gidi, hingga konflik Situbondo pada 1996 akibat warga yang tidak puas atas hukuman yang diberikan kepada seorang penista agama islam.

Bagai gajah di pelupuk mata yang tidak nampak, intoleransi dan diskriminasi agama ini bagaikan angin lalu yang tidak digubris dengan pelaku dibiarkan tanpa diadili. Muncul kekhawatiran ketika kondisi ini terus berulang, orang-orang akan menganggapnya hal yang normal. Padahal sebagai warga negara Indonesia, bukankah kedudukan semuanya sama dan tidak ada hirarki pada agama?

Tak perlu menunggu penegakan hukum menjadi lebih baik, upaya yang berawal dari inisiatif masyarakatlah yang dibutuhkan saat ini. Narasi-narasi heroik yang bernafaskan kemanusiaan untuk mengutuk perbuatan diskriminatif kini harus digaungkan pula di dalam negeri. Tanpa melihat latar belakang suku, agama, maupun golongan. Mari galakkan toleransi atas dasar rasa prihatin, prihatin pada sesama manusia yang lahir bersama di negeri Indonesia.

Gita Rama Mahardhika

Mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Angkatan 2018

Reporter ITS Online

Dilihat 93,390 pengunjung

Adakah Sobat SMP di sini yang punya teman berbeda suku ataupun agama? Jika ada, kalian sangat beruntung karena dapat mengenal budaya serta ajaran baru. Selain itu, lingkungan yang majemuk bisa memberikan kalian referensi pertemanan yang lebih luas.

Indonesia adalah negara dengan sejuta keberagaman. Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan dan dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis.

Namun, belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. Padahal, perbedaan itu sendirilah yang seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih “berwarna”.

Sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan dengan menganut paham toleransi. Jangan sampai Indonesia terpecah-belah akibat isu-isu negatif. Ingat kata pepatah, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”

Bentuk keberagaman di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya, baik dari segi sumber daya alam maupun keberagamannya. Ada beberapa bentuk keberagaman di Indonesia, mulai dari keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras, dan juga keberagaman anggota golongan.

Keberagaman suku

Indonesia adalah negara kepulauan. Dari geografis yang berbeda-beda tersebut, Indonesia memiliki banyak sekali suku. Suku bangsa atau yang disebut juga etnik dapat diartikan sebagai pengelompokan atau penggolongan orang-orang yang memiliki satu keturunan. Selain itu, kelompok suku bangsa ditandai dengan adanya kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis yang dimiliki.

Setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku, lebih tepatnya 1.340 suku bangsa. 

Keberagaman agama

Indonesia adalah negara yang religius. Hal itu dibuktikan dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kebebasan dalam beragama dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Di Indonesia sendiri, ada enam agama yang diakui oleh negara. Agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu. Keenam agama harus hidup berdampingan di masyarakat dengan prinsip toleransi antarumat beragama.

Keberagaman ras

Ras merupakan klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia melalui ciri fenotipe (ciri fisik) dan asal usul geografis. Asal mula keberagaman ras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti bangsa asing yang singgah di Tanah Air, sejarah penyebaran ras dunia, dan juga kondisi geografis. 

Ada beberapa ras yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Ras Malayan-Mongoloid yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga ras Asiatic Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Terakhir, ada ras Kaukasoid, yaitu orang-orang India, Timur-Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika.

Keberagaman anggota golongan

Dalam masyarakat multikultural, keberagaman golongan bisa terjadi secara vertikal dan horizontal. Untuk vertikal, terdapat hierarki lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Contohnya seperti status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Secara horizontal, biasanya anggota golongan setara dan tidak ada hierarki. Namun, hal ini mengakibatkan banyak yang merasa anggota golongannya paling benar sehingga merendahkan anggota golongan lainnya. Contohnya adalah agama, idealisme, adat-istiadat, dan sebagainya.

Pentingnya menjaga toleransi di dalam keberagaman

Meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman, hal tersebut membuat Indonesia rentan terpecah-belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat bisa memicu konflik yang menimbulkan kerugian banyak pihak.

Oleh karenanya, diperlukan sifat toleran dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi haruslah ditanamkan sejak dini supaya bisa menerima perbedaan yang ada.

Contoh perilaku toleransi seperti memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong-menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga, dan menghargai perbedaan budaya yang ada.

Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleran terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan.

Referensi: Modul PPKN SMP Terbuka Keberagaman Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika untuk kelas VII terbitan Direktorat SMP tahun 2020

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA