Ada pepatah pagar makan tanaman apa maksud pepatah tersebut berkaitan dengan hukum?


Dalam KBBI,  peribahasa diartikan kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa ini mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil. 

Peribahasa sendiri merupakan bagian dari kesustraan yang membentuk suatu kebudayaan. Oleh karenanya setiap bangsa di dunia memiliki karakter peribahasa yang unik dan menarik, tak terkecuali bangsa Indonesia.

Dalam lingkup budaya Indonesia atau Melayu umumnya, peribahasa selain sebagai buah dari kesusatraan juga mengandung makna simbolik yang berisi nilai-nilai, petuah dan ajaran moral yang baik. Berbagai macam bentuk peribahasa amat masyhur di telinga kita bahkan sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. 

Burung Pegar, 


Salah satu peribahasa tersebut adalah "bagai pagar makan tanaman". Jikalau diartikan, memiliki makna simbolik yaitu orang yang merusakkan barang yang diamanatkan (dititipkan) kepadanya, atau dalam arti yang lain adalah orang yang diharapkan menjadi pelindung malah menjadi perusak/penghancur.

Tetapi, kalau kita kritis sedikit tentunya kita akan bertanya, bagaimana cara "pagar" makan tanaman? Apakah pagar punya mulut? Atau apakah semacam bentuk hiperbola? Jikalau memang maknanya dimaksudkan demikian, tentu ada diksi yang lebih tepat selain dari pagar "memakan" itu. Misalnya bagai pagar rebah ke tanaman atau sebagainya.

Selidik punya selidik, ternyata yang dimaksud "pagar" dalam pribahasa tersebut bukanlah pagar yang diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk pembatas pekarangan, rumah, halaman, kebun dan lain-lain, melainkan "pegar" yang merupakan hewan sejenis unggas.

Mengutip Wikipedia, burung pegar atau ayam pegar adalah nama umum dari kelompok burung famili Phasianide ordo Galliformes, termasuk burung-burung jenis Kuau dan lain-lain. Mereka dicirikan dengan sifat dimorfisme seksual yang kuat, warna spesies jantan lebih cerah dan kaya warna serta memiliki ekor yang lebih besar dan panjang. Ukuran tubuh jantan umumnya lebih besar daripada betina. Jantan tidak memiliki peran dalam membesarkan burung pegar muda. Burung pegar umumnya memakan biji-bijian dan beberapa memakan serangga.


Menurut Asril Mamok Kincai Niang dalam postingannya, peribahasa "pagar makan tanaman" tersebut berasal dari pepatah yang digunakan oleh orang Melayu semenanjung yang berbunyi "harapkan pegar, rupanya pegar makan tanaman". Yang diartikan sebagai orang/sesuatu yang diharapkan menjadi pelindung ternyata malah merusak. Oleh karena itu, kita mesti bisa memilih orang yang memang berkapasitas untuk melindungi, tak hanya dilihat dari penampilannya belaka, seperti burung pegar yang sangat anggun.

Peribahasa bukanlah sebuah hiperbola belaka, tetapi peristiwa-peristiwa alamiah yang disimbolkan atau yang diambil maknanya sebagai pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan.Jadi, yang bisa makan tanaman itu pegar, bukan pagar loh ya!

Rabu, 23 Maret 2016 | 14:49 WIB

Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyerukan agar alumni FH harus menjadi sarjana hukum yang unggul dan berkarakter. Hal ini sangat penting karena salah satu penyebab merosotnya citra hukum di Indonesia adalah praktik ‘pagar makan tanaman‘ yang artinya kurang lebih jika orang yang mestinya menjadi penegak hukum malah menciderai hukum itu sendiri.

Rusaknya penegak hukum yang justru disponsori oleh orang orang yang tahu hukum, membuat Dekan FH Unnes Dr Rodiyah prihatin. Sebab, jika penegak hukum telah rela menciderai hukum itu sendiri maka sempurnalah kerusakan sistem hukum secara keseluruhan, “paling tidak akan mengacaukan penegakan hukum,” kata Rodiah dalam perayaan kelulusan sarjana FH Periode I 2016, Selasa siang (22/3) di Hotel Grasia Semarang.

Sejatinya, kata Rodiyah, kewenangan yang dimiliki penegak hukum merupakan suatu tanggung jawab yang maha berat. Karena itu, selain profesional, alumni FH Unnes harus memiliki komitmen dan integritas yang tinggi serta kejujuran dan keberanian.

“Dengan menjadi sarjana hukum yang unggul dan berkarakter, masyarakat lebih mengenal FH Unnes, dan akhirnya mempercayakan anak bangsa untuk menimba ilmu di jurusan yang telah meluluskan 1272 wisudawan sejak didirikan ini,” tegasnya.

FH pada Wisuda Unnes Periode I 2016 meluluskan sejumlah 54 orang. Penyandang lulusan terbaik adalah Muhammad Pandu Fajar Buana jenjang Sarjana (S1) program studi Ilmu Hukum dengan Indek Prestasi Kumulatif (IPK) 3,63 (Tiga koma enam tiga).


Arti peribahasa PAGAR MAKAN TANAMAN adalah orang yang disuruh menjaga/mengawasi malah merusakkan/mengambil barang amanat/titipan.

*) sejatinya, pagar dimaksudkan untuk menjaga tanaman. Tetapi, dalam peribahasa ini yang terjadi sebaliknya, pagar yang seharusnya menjaga malah memakan tanaman.

Contoh dalam kalimat :

Jangan jadikan dia untuk menjadi satpam di rumahmu, dia itu terkenal pagar makan tanaman.

Aku sama sekali tak menyangka ternyata Saeful termasuk pagar makan tanaman. Berulang kali, dia mencuri barang yang dititipkan teman kepadanya.

Rabu , 27 Mar 2013, 17:39 WIB

Republika/Daan

Yudi Latif

Red: M Irwan Ariefyanto

REPUBLIKA.CO.ID,Ada gerombolan terlatih merobohkan kewibawaan negara lewat pembunuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Ada mafioso dan korporat hitam yang mendikte kebijakan publik. Ada pejabat negara yang lebih sibuk urusan partainya sendiri. Ada lembaga pengayom rakyat yang kerjanya mempersulit urusan rakyat. Ada penegak hukum yang mencari keuntungan dengan memperjualbelikan  hukum.Sekonyong-konyong terlintas ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca. “Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini: Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.” Perkembangan ini sudah melenceng jauh dari tujuan bernegara dan karakter keindonesiaan. Indonesia adalah negeri para pejuang, bukannya negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Berjuang, ‘berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan’ itulah urat nadi keindonesian, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan yang dalam tentang arti keadilan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Itulah sebabnya mengapa dalam Pancasila, kata ‘keadilan’ ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan. Dengan itu, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita alasan (landasan) dan tujuan perjuangan kebangsaan. Sedemikian terangnya alasan, isi, dan haluan perjuangan keindonesiaan itu, sehingga seorang ahli sejarah, Rutger, menyatakan, “Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesialah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas memberikan latar psikologis yang sesungguhnya dari perjuangan revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, Pancasila, dilukiskannya alasan dan tujuan secara lebih mendalam dari revolusi itu.” Jika Indonesia ada karena perjuangan dan komitmen luhur menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring dengan pemudaran tekad kejuangan dan komitmen keadilan. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Tetapi, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan kezaliman kuasa menari di atas penderitaan rakyat banyak. Kemiskinan memang membuat bangsa ini tidak memiliki banyak hal, tetapi keserakahan membuat bangsa ini kehilangan segalanya.Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, melainkan kehilangan harga diri, yang membuat para abdi negara lebih rela menjadi pelayan cukong ketimbang pelayan rakyat. “Aib terbesar, “ kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.” Kehilangan harga diri menjadi pintu masuk bagi keberanian korupsi. Adapun korupsi dari pejabat tinggi merupakan sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan. Dalam peribahasa Latin dikatakan, “Corruptio optima pessima”, pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling buruk.”

Pembusukan moral negara terjadi ketika lembaga kepolisian dan kejaksaan yang mestinya menegakkan hukum justru menjadi manipulator hukum; lembaga parlemen  yang mestinya mewakili aspirasi rakyat justru mewakili kepentingan yang bayar; birokrasi yang mestinya melayani rakyat justru menjadi sarang para penyamun dan makelar proyek; kepala negara yang mestinya menegakkan ‘kebajikan dan keadilan tertinggi’ (summon bonum) di atas formalitas hukum, justru mengalah pada kerangkeng prosedural dalam kerangka keseimbangan kekuasan.

Pembusukan moral negara ini akan sempurna, bilamana para pejabat dan institusi kenegaraan menyalahgunakan fungsinya dalam rangka melayani kepentingan para sindikat partikelir.  Sekitar setengah abad yang lalu, Bung Hatta mewanti-wanti agar negara ini tidak jatuh ke tangan sindikalisme yang akan membuat Republikanisme ini tersungkur di bawah kendali mafioso. Malangnya, drama demi drama yang dipertontonkan para pejabat publik dalam kaitan dengan masalah korupsi akhir-akhir ini, mendekati kekhawatiran Bapak Bangsa itu, bahwa Republik ini terjerembab oleh karena “merajalelanya sindikalisme”.       Para pejabat negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat justru seperti pagar yang memakan tanamannya sendiri. Dengan redupnya wibawa aparatur negara dan komitmen keadilan yang menjadi roh keindonesian, bangsa ini terancam kehilangan jati dirinya. Kehilangan Indonesia akan merupakan suatu bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Indonesia memanggil, “Save our nation!” Kepahlawanan tampak ketika dalam dada yang kecil, ada keberanian besar. Kepengecutan juga tampak ketika dalam dada yang besar, tersembul keberanian kecil. Berani karena benar, takut karena salah. Itulah jiwa kepahlawanan yang harus digelorakan kembali.

  • resonansi
  • yudi latif
  • moral neara
  • pembusukan
  • kepahlawanan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA